Senin 09 Aug 2010 04:54 WIB

Rugikan Rakyat, Kebijakan Energi Harus Dikaji Ulang

Rep: Citra Listya Rini/ Red: taufik rachman

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Pengamat migas, Kurtubi menyayangkan pemerintah yang tidak memiliki konsep matang untuk keamanan energi nasional. Menurutnya, saat ini pengelolaan energi yang dilakukan pemerintah telah melenceng dari Pasal 33 Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Kebijakan pengelolaan energi yang ada saat ini dianggap hanya merugikan rakyat.

"Pengelolaan energi yang seharusnya untuk kepentingan rakyat, justru merugikan rakyat. Selain itu, berpotensi mengurangi atau menghilangkan pendapatan negara. Sekarang ini rakyat menjadi benar-benar menderita," katanya kepada Republika di Jakarta, Ahad (8/8).

Kurtubi menilai dalam setiap wacana pengelolaan energi yang diusung pemerintah kerapkali berubah-ubah. Ia mencontohkan mulai dari pembatasan pemakaian bahan bakar minyak (BBM) premium, lewat pelarangan sepeda motor berbahan bakar premium. Kemudian disusul wacana mobil keluaran tahun 2005 ke atas dilarang menggunakan bensin premium.

"Wacana pemerintah dari waktu ke waktu selalu berubah. Ini terkesan sekali adanya keragu-raguan, sehingga pemerintah seakan tidak memiliki konsep atau rencana pengelolaan energi yang jelas," tegas Kurtubi.

Ia menilai pemerintah sama sekali tidak konsisten atau kurang profesional dalam menetapkan kebijakan untuk menjamin keamanan energi nasional. Kurtubi memandang langkah pemerintah saat ini tidak mementingkan kepentingan dan hati nurani rakyat. Untuk itu, ia berharap agar pemerintah lebih mengkaji kebijakan energi untuk kepentingan rakyat.

"Untuk jangka pendeknya, saya berharap pemerintah membatalkan penjualan gas dari ladang Donggi-Senoro ke Mitsubishi. Seharusnya di-design ulang penjualan gas Donggi-Senoro itu. Sehingga akan mengurangi aksi impor kita. Kalau bisa dicari kemungkinan adanya pemburu rente penjualan gas Donggi-Senoro tersebut ke Mitubishi," jelas Kurtubi.

Seperti diketahui, pemerintah menetapkan alokasi gas Donggi-Senoro, Sulawesi Tengah sebesar 25-30 persen untuk kepentingan domestik. Sebesar 70 persen gas tersebut akan diekspor ke luar negeri dengan asumsi untuk menambah penerimaan negara. Namun,

banyak kalangan yang menilai pembagian alokasi gas dari lapangan Donggi-Senoro tersebut seharusnya tidak digunakan untuk ekspor, agar bermanfaat penuh bagi kesejahteraan rakyat.

"Lalu untuk jangka panjangnya, pemerintah harus mencabut UU Migas nomor 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi. Ditambah lagi, pemerintah juga harus merombak atau mereformasi Kementerian ESDM (Energi dAN Sumber Daya Mineral). Hal ini karena orang-orangnya itu-itu saja, jadi tidak ada kebijakan baru," pungkas Kurtubi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement