REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG--Pengamat ekonomi dari Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang Prof. Dr. Vincent Gaspersz, SE.MM, mengatakan, wacana redenominasi Rupiah bukan merupakan saat yang tepat karena akan selalu ditanggapi negatif oleh masyarakat. "Tanggapan negatif ini berisiko memicu tindakan-tindakan yang tidak rasional dan berdampak buruk bagi perekonomian Indonesia, karena faktor trauma psikologis masa lalu," katanya di Kupang, Rabu (4/8).
Gaspersz yang juga dosen pasca sarjana Fakultas Ekonomi Unwira Kupang ini, mengatakan hal tersebut, menanggapi wacana dan studi yang sedang dilakukan Bank Indonesia untuk redenominasi mata uang. Redenominasi adalah menyederhanakan mata uang menjadi pecahan lebih kecil dengan cara mengurangi digit (angka nol), tanpa mengurangi nilai mata uang tersebut, misal Rp. 1.000 menjadi Rp1.
Ia mengatakan tujuan redenominasi Rupiah adalah menyederhanakan penulisan nilai barang dan jasa, penyederhanaan penulisan alat pembayaran (uang) sekaligus menyederhanakan sistem akuntansi pembayaran. Dia menyebut beberapa negara yang pernah melakukan redenominasi mata uang dan berhasil diantaranya adalah, Taiwan, Turki, Rumania, China. Namun ada juga negara yang gagal seperti Zimbabwe.
Karena itu, katanya, meskipun redenominasi Rupiah baru bersifat wacana, namun dalam situasi perekonomian Indonesia seperti sekarang ini, setiap isu berkaitan dengan Rupiah akan ditanggapi negatif. Apalagi, imbuh dia, ada pernyataan bahwa mata uang Rp1.000 akan menjadi Rp1. Bagi publik yang kurang memahami arti redenominasi akan menyamakan seperti Sanering (pemotongan nilai mata uang) yang pernah terjadi pada tahun 1966.
Hal ini lanjutnya terbukti ketika dilontarkan isu tentang redenominasi Rupiah, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) ditutup merosot tajam pada penutupan perdagangan hari Selasa (3/8) sebesar 2,79 persen ke level 2.973,656 poin. "Bangsa ini pernah mengalami pengalaman buruk ketika terjadi pemotongan nilai uang (sanering) pada masa awal Orde Baru dimana Rp1000 (uang lama) menjadi Rp1 (uang baru).
Termasuk, krisis moneter 1998 yang menurunkan nilai mata uang rupiah sampai 400 persen, sehingga setiap isu apa saja tentang rupiah akan ditanggapi negatif karena ada faktor trauma secara psikologis. Oleh karena itu, menurut dia, sebaiknya Bank Indonesia mengelola dan membantu menjaga kondisi ekonomi yang kondusif agar target inflasi 5,3 persen pada tahun 2010 dapat tercapai.
Peningkatan inflasi Januari - Juli 2010 yang telah mencapai 4,02 persen itu, membuat proyeksi inflasi diperkirakan bakal lebih buruk dari target 2010 sebesar 5,3 persen yang tentunya bisa memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2010. "Wacana redenominasi rupiah akan menimbulkan ketidak-nyamanan investor dalam memegang rupiah,"ujarnya. Investor akhirnya berlomba-lomba menarik dananya dari pasar modal guna mengkoleksi dolar AS yang dianggap lebih aman.