REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Upaya pemerintah untuk menyeimbangkan neraca perdagangan dengan Cina sepertinya sulit dilakukan. Hal ini tidak terlepas dari ketergantungan teknologi Indonesia terhadap Cina.
Badan Pusat Statistik (BPS) melansir defisit perdagangan Indonesia dengan Cina (non migas) selama semester pertama (Januari - Juni) 2010 telah mencapai 2,946 miliar dolar AS. Jumlah ini lebih tinggi 818 juta dolar AS dari defisit periode yang sama pada tahun 2009 lalu yang hanya sebesar 2,128 miliar dolar AS
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Rusman Heriawan menilai sulit bagi Indonesia untuk mampu menyaingi Cina dalam waktu dekat. Pasalnya, ketergantungan Indonesia akan teknologi negeri tirai bambu itu cukup besar. Hal ini dapat terlihat dari struktur impor yang umumnya dari barang modal. ''Industri kita banyak tergantung dari sana, kalau distop tentu akan mengganggu proses produksi di dalam negeri,'' ungkapnya di Jakarta, Senin (2/8).
Rusman menyebutkan, beberapa jenis barang impor itu seperti mesin dan peralatan listrik. Nilainya selama satu semester telah mencapai 2,285 miliar dolar AS atau sekitar 25 persen dari total impor Cina yang masuk pada periode sama yakni sebesar 8,994 miliar dolar AS.
Kemudian juga pada mesin-mesin atau pesawat mekanik yang nilainya selama satu semester mencapai 2,149 miliar dolar AS. Disusul dengan impor berupa benda-benda dari besar dan baja, bahan kimiar organik, dan beberapa barang lainnya. ''Ya sekarang kita banyak barang-barang teknologi made in Cina,'' ujarnya.