Kamis 02 Feb 2023 01:45 WIB

Menelaah Keberadaan Mafia Beras di Tengah Serbuan Impor

Sangat mungkin beras operasi pasar dijual kembali sebagai beras premium.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Friska Yolandha
Pekerja mengangkut beras di Gudang Baru Bulog Cisaranten Kidul, Gedebage, Kota Bandung, Senin (30/1/2023). Bulog Cabang Bandung menggelontorkan 3.000 ton beras medium ke pasar-pasar tradisional di wilayah Bandung Raya dan Sumedang guna menstabilkan harga. Harga beras medium bagi pedagang sebesar Rp8.300 per kilogram, sementara untuk konsumen maksimal di harga eceran tertinggi (HET) sebesar Rp9.450 per kilogram.
Foto: ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA
Pekerja mengangkut beras di Gudang Baru Bulog Cisaranten Kidul, Gedebage, Kota Bandung, Senin (30/1/2023). Bulog Cabang Bandung menggelontorkan 3.000 ton beras medium ke pasar-pasar tradisional di wilayah Bandung Raya dan Sumedang guna menstabilkan harga. Harga beras medium bagi pedagang sebesar Rp8.300 per kilogram, sementara untuk konsumen maksimal di harga eceran tertinggi (HET) sebesar Rp9.450 per kilogram.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dugaan mafia beras kembali mengemuka setelah Direktur Utama Perum Bulog, Budi Waseso menyebut adanya oknum pemain yang sengaja membuat harga beras tak kunjung turun. Kendati operasi pasar terus digelar dengan tambahan cadangan beras impor. Peran Satgas Pangan dinanti publik untuk membuktikan keberadaan para mafia itu.

Jika ditarik ke belakang, bukan sekali dugaan mafia beras diungkapkan oleh Bulog. Namun, Pengamat Pangan dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori, mengatakan, hingga saat ini belum ada satupun mafia yang benar terbukti dan ditangkap.

Baca Juga

Hanya saja, Khudori meyakini dalam situasi seperti ini dipastikan ada pihak-pihak yang mencoba mengais keuntungan dari operasi pasar beras.

"Itu iya dan benar. Memang peluang itu terbuka. Itu pasti ada," kata khudori saat diwawancarai Republika.co.id, Rabu (1/2/2023).

Alasannya sederhana, beras yang digelontorkan dalam operasi pasar tergolong beras baru dan masuk kelas premium. Itu karena sebagian diisi dengan beras impor yang memang diakui Bulog dengan tingkat butir patah hanya 5 persen.

Meski tergolong premium, harga jual tetap mengacu pada harga eceran tertinggi (HET) beras medium di tingkat konsumen sebesar Rp 9.450 per kg. Khudori menuturkan, dalam situasi itu, sangat memungkinkan ada pihak yang menggunakan beras operasi pasar untuk dijual kembali sebagai beras premium. Sebagai catatan, HET beras premium dipatok Rp 12.800 per kg.

photo
Sejumlah warga membeli beras di Pasar Cikurubuk, Kota Tasikmalaya, Senin (30/1/2023). Harga berada di pasar itu masih terpantau tinggi. - (Republika/Bayu Adji P)

Di satu sisi, Khudori menilai, Bulog tidak memiliki aturan yang terikat dengan para mitra distributornya. Meski harga jual dari Bulog sebesar Rp 8.300 per kg, tak menjamin beras itu dijual kepada pedagang lanjutan masih di bawah batas HET.

"Jadi peluang itu yang saya kira terbuka dan dimainkan oleh pihak-pihak tertentu. Nah, Pak Buwas (Dirut Bulog) menyebutnya sebagai mafia. Bahwa ada pihak lain yang diuntungkan," kata dia.

Belum lagi, jika rantai distribusi yang panjang. Meski tiap tingkat hanya mengambil margin Rp 100-Rp 300 per kg, harga di tingkat konsumen bisa jadi tinggi.

Panel Harga Badan Pangan Nasional mencatat rata-rata harga beras medium hingga Selasa (1/2/2023) sudah mencapai Rp 11.640 per kg. Sementara beras premium di level Rp 13.270 per kg.

Sementara itu, beras impor yang sudah tiba, berdasarkan laporan terakhir Bulog, sekitar 250 ribu ton. Total cadangan beras Bulog diketahui mencapai 800 ribu ton.

Khudori melanjutkan, kelemahan sistem operasi pasar Bulog karena tidak langsung menjangkau konsumen. Alhasil, Bulog kesulitan mengontrol harga beras operasi pasar hingga di tangan konsumen.

Semestinya, dalam situasi seperti sekarang, operasi pasar langsung menjangkau konsumen. Selain itu, pasokan beras di pasar-pasar dibuat jenuh sehingga hilang peluang spekulasi kenaikan harga.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement