Senin 27 Oct 2025 14:00 WIB

Akademisi: Indonesia Harus Segera Beralih ke Ekonomi Sirkular

Transformasi hijau bukan lagi jargon, melainkan kebutuhan.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Satria K Yudha
Warga meletakan sampah ke timbangan saat kegiatan Sembako Tukar Sampah di Alun-alun Teluk Naga, Kabupaten Tangerang, Banten, Selasa (4/2/2025). Kegiatan penukaran sampah rumah tangga yang sudah dipisahkan jenisnya dengan sembako tersebut untuk mengedukasi warga pentingnya pengelolaan sampah dalam pengembangan ekonomi sirkular.
Foto: ANTARA FOTO/Putra M. Akbar
Warga meletakan sampah ke timbangan saat kegiatan Sembako Tukar Sampah di Alun-alun Teluk Naga, Kabupaten Tangerang, Banten, Selasa (4/2/2025). Kegiatan penukaran sampah rumah tangga yang sudah dipisahkan jenisnya dengan sembako tersebut untuk mengedukasi warga pentingnya pengelolaan sampah dalam pengembangan ekonomi sirkular.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Dorongan mewujudkan transformasi hijau kian mendesak. Akademisi menilai Indonesia harus segera meninggalkan sistem ekonomi linear yang boros sumber daya dan beralih menuju ekonomi sirkular agar pembangunan lebih berkeadilan dan berkelanjutan.

“Indonesia harus bergerak dari ekonomi linear menuju ekonomi sirkular yang menekankan efisiensi sumber daya dan pengelolaan limbah bertanggung jawab,” ujar dosen senior Universitas Mercu Buana (UMB), Diky Firdaus, dalam webinar bertajuk Transformasi Hijau: Strategi Mewujudkan Circular & Sharing Economy di Indonesia, dikutip Senin (27/10/2025).

Tidak ada kode iklan yang tersedia.
Baca Juga

Diky menegaskan, transformasi hijau bukan lagi jargon, melainkan kebutuhan mendesak untuk menjawab krisis energi, penumpukan limbah, dan perubahan iklim. Ia menilai, tanpa keberanian mengubah paradigma pembangunan, Indonesia akan terus tertinggal dalam transisi ekonomi hijau yang kini digencarkan secara global.

Menurutnya, ekonomi sirkular menjadi solusi konkret agar aktivitas industri tetap produktif tanpa merusak lingkungan. “Kita tidak bisa terus mengeksploitasi alam tanpa batas. Prinsip reduce, reuse, recycle harus menjadi bagian dari kebijakan ekonomi nasional,” kata Diky.

Sementara itu, Direktur Utama PT Cometindo Mitra Inti, Sulistyono, menilai sektor industri perlu mengubah cara pandang terhadap keberlanjutan. “Keberlanjutan bukan sekadar program CSR, tapi sudah menjadi strategi inti bisnis,” ujarnya.

Ia menjelaskan, penerapan konsep sharing economy dapat memperkuat daya saing industri melalui efisiensi sumber daya dan kolaborasi antarpelaku usaha. “Perusahaan bisa berbagi teknologi atau jaringan untuk menekan biaya dan mengurangi jejak karbon,” tambahnya.

Dari sisi pendidikan, Kepala Pusat MKCU dan MBKM Universitas Dian Nusantara (UNDIRA), Lutfi Alhazami, menilai transformasi hijau harus dimulai dari kampus. “Perguruan tinggi harus menjadi laboratorium perubahan. Mahasiswa perlu dilatih berpikir efisien dan etis,” ujarnya.

Ia menuturkan, kurikulum Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) bisa menjadi wadah efektif menanamkan nilai keberlanjutan lintas disiplin. Menurutnya, dunia pendidikan berperan strategis melahirkan SDM yang tangguh dan peduli lingkungan.

Akademisi Institut Pendidikan dan Teknologi Indonesia (IPTI), Junaedi, menilai hambatan utama penerapan ekonomi sirkular bukan pada teknologi, tetapi pada perilaku masyarakat. “Budaya konsumtif masih kuat. Padahal keberlanjutan menuntut disiplin dan kesadaran kolektif,” ujarnya.

Ia menegaskan, agar transformasi hijau tak berhenti pada wacana, dibutuhkan kolaborasi antara pemerintah, perguruan tinggi, dan dunia usaha. “Regulasi harus berpihak pada inovasi hijau, sementara kampus dan industri perlu bergerak bersama melahirkan solusi yang aplikatif,” kata Junaedi.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement