Sabtu 13 Sep 2025 14:57 WIB

MTI Usul Pemerintah Bangun Aplikasi Ojol Nasional, Potongan Bisa Diatur Maksimal 10 Persen

Pengemudi ojol masih terbebani potongan lebih dari 20 persen dari aplikasi swasta.

Driver ojek online.
Foto: Republika/Prayogi
Driver ojek online.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, Djoko Setijowarno, berpendapat Indonesia bisa membuat aplikasi ojek daring sendiri untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal itu seperti dilakukan sejumlah negara di Asia.

“Jika negara mengakui pengemudi ojek online (ojol) sebagai lapangan pekerjaan baru, maka idealnya negara membuat aplikasi sendiri untuk menyejahterakan warganya,” kata Djoko dalam pesan elektronik yang diterima di Jakarta, Sabtu (13/9/2025).

Baca Juga

Ia mencontohkan sejumlah negara seperti China, Korea Selatan, Jepang, Vietnam, dan India yang memiliki aplikasi transportasi milik negara. Dengan memiliki aplikasi sendiri, ujar Djoko, pemerintah dapat mengatur potongan biaya yang dikenakan kepada pengemudi tidak lebih dari 10 persen.

“Hal ini berbeda dengan kondisi saat ini, meskipun dianggap sebagai lapangan pekerjaan, pengemudi merasa terbebani dengan potongan biaya yang mencapai lebih dari 20 persen,” ujarnya.

Djoko menambahkan, aplikasi ojek daring tersebut dapat diserahkan kepada pemerintah daerah untuk digunakan sesuai kebutuhan wilayah masing-masing.

Sebelumnya, para pengemudi ojol menolak kebijakan potongan tarif aplikasi sebesar 10 persen karena dianggap merugikan mereka. Penolakan diwujudkan melalui aksi unjuk rasa di beberapa titik Jakarta, termasuk di depan Gedung DPR/MPR RI.

Pemerhati transportasi, Muhammad Akbar, menilai posisi ojek daring masih lemah dalam kerangka hukum transportasi. Ia mengingatkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan secara tegas menyebutkan angkutan umum hanya boleh menggunakan mobil penumpang, bus, atau mobil barang.

“Sepeda motor tidak termasuk di dalamnya. Artinya, secara hukum ojol tidak diakui sebagai angkutan umum,” kata Akbar.

Selama ini, operasional ojol hanya bersandar pada aturan teknis, yakni Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 12 Tahun 2019 tentang tarif, perlengkapan keselamatan, dan kewajiban aplikasi. Menurut Akbar, regulasi tersebut bersifat sementara, lebih sebagai jembatan kebijakan, bukan pengakuan penuh setingkat undang-undang.

Dengan demikian, posisi pengemudi maupun penumpang tetap rapuh dari aspek perlindungan hukum. Jika terjadi kecelakaan, sengketa tarif, atau persoalan klaim asuransi, mereka tidak memiliki dasar kuat untuk menuntut ganti rugi sebagaimana pengguna angkutan umum resmi.

Dari sisi keselamatan, sepeda motor hanya mengandalkan helm sebagai pelindung utama, berbeda dengan bus, kereta, atau taksi yang dilengkapi sabuk pengaman, karoseri, dan sistem peredam benturan.

“Negara berada dalam posisi dilematis, apakah tetap konsisten membangun transportasi massal yang modern dan efisien, atau mengikuti tekanan politik dan popularitas ojol demi jutaan pengemudi yang menggantungkan hidupnya di jalan,” kata Akbar.

sumber : ANTARA
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement