Ahad 07 Sep 2025 14:22 WIB

Trump Desak Eropa Hentikan Impor Minyak Rusia

Tekanan AS muncul di saat OPEC+ tengah mencari arah baru kebijakan produksi.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Satria K Yudha
Presiden AS Donald Trump.
Foto: AP Photo/Alex Brandon
Presiden AS Donald Trump.

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON — Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali menekan negara-negara Eropa agar menghentikan pembelian minyak Rusia. Trump menilai impor tersebut hanya memperpanjang perang di Ukraina dengan memberi pemasukan besar bagi  Rusia.

“Eropa harus berhenti membeli minyak Rusia yang membiayai perang,” kata seorang pejabat senior Gedung Putih kepada AFP, dikutip Ahad (7/9/2025).

Baca Juga

Trump sebelumnya menaikkan tarif terhadap India sebagai hukuman atas pembelian minyak Rusia. Dalam pertemuan dengan sekutu Ukraina di Paris, Kamis (4/9/2025), ia juga meminta negara-negara Eropa menekan Cina yang menjadi importir terbesar minyak Rusia.

Tekanan AS muncul di saat OPEC+ tengah mencari arah baru kebijakan produksi. Aliansi delapan produsen utama (V8), yaitu Arab Saudi, Rusia, Irak, Uni Emirat Arab, Kuwait, Kazakhstan, Aljazair, dan Oman , sedang mempertimbangkan langkah penyesuaian kuota.

Harga minyak global kini berada di kisaran 65–70 dolar AS per barel, turun 12 persen sejak awal tahun akibat pasokan meningkat dan permintaan melemah. Analis Rystad Energy, Jorge Leon, memperkirakan permintaan akan turun pada kuartal IV karena faktor musiman.

Sementara Rusia, sebagai produsen terbesar kedua setelah Arab Saudi, diperkirakan sulit memanfaatkan tambahan kuota produksi. Menurut analis Global Risk Management, Arne Lohmann Rasmussen, Rusia masih berkepentingan menjaga harga tinggi untuk membiayai perang di Ukraina.

Sejak April, V8 menaikkan produksi untuk merebut pangsa pasar. Namun analis Saxo Bank, Ole Hansen, menilai kelompok ini bisa kembali menyesuaikan kuota pada Oktober. “Ada pembicaraan di pasar yang menyebut kelompok ini mungkin memilih penyesuaian kuota baru,” katanya.

Langkah tersebut, menurut Leon, akan menguji keseriusan OPEC+ dalam mengejar pangsa pasar meski berisiko membuat harga jatuh di bawah 60 dolar AS per barel.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement