Sabtu 16 Aug 2025 19:52 WIB

Tanggapi RAPBN 2026, Ekonom Indef: Inflasi Pangan Mesti Diwaspadai 

Realisasi inflasi kita sekitar 2,5 persen.

Rep: Eva Rianti/ Red: Gita Amanda
Sejumlah anggota DPR menghadiri Rapat Paripurna masa persidangan III 2019-2020 secara langsung,  di Komplek Parlemen, Jakarta, Selasa (12/5/2020). Dalam rapat paripurna tersebut beragendakan penyampaian Pemerintah terhadap Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM dan PPKF) RAPBN TA 2021 dan pengambilan keputusan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 atau Perppu Corona menjadi UU. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/hp.
Foto: MUHAMMAD ADIMAJAANTARA FOTO
Sejumlah anggota DPR menghadiri Rapat Paripurna masa persidangan III 2019-2020 secara langsung, di Komplek Parlemen, Jakarta, Selasa (12/5/2020). Dalam rapat paripurna tersebut beragendakan penyampaian Pemerintah terhadap Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM dan PPKF) RAPBN TA 2021 dan pengambilan keputusan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 atau Perppu Corona menjadi UU. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/hp.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto mengkritisi topik inflasi pada RAPBN 2026 dengan menitikberatkan pada inflasi pangan. Menurutnya, inflasi secara umum sudah cukup terkendali, tetapi inflasi pangan secara lebih spesifik dinilai perlu diwaspadai. 

“Untuk 2026, inflasi tidak terlalu mengkhawatirkan. Realisasi inflasi kita sekitar 2,5 persen, seperti yang ada di dalam RAPBN 2026 yang dipidatokan Presiden Prabowo. Hanya saja kalau kita bedah dalam konteks dari sumber inflasinya, kami tetap mengkahwatirkan inflasi pangan,” kata Eko dalam diskusi publik Indef bertajuk ‘Penerimaan Cekak, Program Unggulan Membengkak?: Tanggapan atas Nota Keuangan RAPBN 2026’ yang digelar secara daring, Sabtu (16/8/2025).

Baca Juga

Eko menuturkan, inflasi pangan tetap mengkhawatirkan, meskipun ada beberapa pencapaian dalam bidang pangan yang telah dilaporkan Pemerintah. Seperti cadangan beras mencapai 4,2 juta ton, serta berbagai langkah swasembada pangan.

“Tetapi poinnya adalah harus dipastikan bahwa program unggulan yakni swasembada pangan mampu untuk menekan inflasi, Jadi jangan sampai disampaikan bahwa stoknya banyak, produksinya meningkat, tetapi harga juga naik, nanti yang terjadi adalah masyarakat bingung,” ungkapnya. 

Jika hal itu terjadi, masyarakat akan menafikkan data yang disampaikan oleh Pemerintah. Sehingga Pemerintah harus memastikan tidak adanya kontradiksi pada data dengan realitas yang terjadi. Jika terjadi kontradiksi, maka berlaku wait and see

“Kita masih melihat hari ini harga beras masih menjadi stimulan inflasi sehingga tren inflasi kita naik 2,37 pada bulan Juli 2025, dan mudah-mudahan kita berharap bisa terkendali ke depannya. Karena kalau harga pangan tidak terkendali akan sulit merealisasikan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi akibat sudah tergerus daya beli oleh inflasi pangan yang komponennya besar sekali dalam perhitungan inflasi,” jelasnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement