REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyampaikan, implementasi program biodiesel 40 (B40) mencapai 6,8 juta kiloliter (KL) pada semester I 2025. Target 2025 sebanyak 13,5 juta KL.
"Realisasinya sudah 6,8 juta KL,” ucap Bahlil dalam konferensi pers capaian kinerja semester I 2025 Kementerian ESDM di Jakarta, dikutip Selasa (12/8/2025).
Dengan demikian, implementasi B40 pada semester I 2025 sudah mencapai 50,4 persen. Dalam paparannya, Bahlil menyampaikan manfaat ekonomi dari program mandatori biodiesel, antara lain penghematan devisa pada 2025 sebesar 3,68 miliar dolar AS atau sekitar Rp 60,37 triliun.
Selain itu, terdapat manfaat berupa peningkatan nilai tambah crude palm oil (CPO) menjadi biodiesel sebesar Rp 9,51 triliun.
“Memang ada PSO dan non-PSO. Bagi industri itu non-PSO dan harganya berbeda dengan PSO karena di-cover oleh BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit) atau oleh pemerintah,” ujar Bahlil.
Ia menambahkan, pemerintah saat ini mencari formulasi agar perusahaan industri dapat memakai B40 dengan harga terjangkau.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Eniya Listiani Dewi membenarkan adanya keluhan dari beberapa perusahaan industri yang menggunakan B40 non-PSO.
“Itu harganya sedikit lebih tinggi. Ada yang beli sampai Rp 24 ribu, tapi ada juga yang beli Rp 12 ribu. Soal harga ini masih didiskusikan,” tutur Eniya.
Terkait rencana implementasi B50 pada 2026, Eniya menyampaikan belum ada road test untuk B50.
“Ini nanti saya dan Pak Menteri persiapkan,” kata Eniya.
Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung memastikan biodiesel 50 (B50) akan diimplementasikan pada 2026.
Ia mengatakan pemerintah masih mengevaluasi implementasi B40 dan sejauh ini menilai program tersebut berhasil.
Oleh karena itu, Yuliot optimistis implementasi B50 dapat dimulai pada awal 2026. Sikap ini sekaligus memberi kepastian setelah muncul kekhawatiran tertundanya implementasi B50 karena kendala bahan baku.