REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mengungkap tingginya beban biaya transportasi yang ditanggung masyarakat di sejumlah kota di Indonesia. Kota Depok dan Bekasi tercatat sebagai wilayah dengan pengeluaran transportasi tertinggi secara persentase terhadap total pengeluaran warga.
“Rata-rata total biaya transportasi yang dikeluarkan warga Jakarta itu Rp 1,59 juta per bulan atau 11,82 persen dari total pengeluaran,” ujar Direktur Jenderal Integrasi Transportasi dan Multimoda (ITM) Kemenhub, Mohammad Risal Wasal, dalam acara integrasi moda transportasi di Jakarta, Kamis (31/7/2025).
Berdasarkan pemaparan Risal, biaya transportasi tertinggi secara persentase terjadi di Depok sebesar Rp 1,8 juta per bulan (16,32 persen), disusul Bekasi Rp 1,9 juta (14,02 persen), dan Surabaya Rp 1,6 juta (13,71 persen). Papua juga mencatatkan angka tinggi yakni Rp 1,1 juta per bulan. “Surabaya ternyata lebih tinggi daripada Jakarta, ini yang kita kaji,” ucap Risal.
Risal menjelaskan bahwa meski tarif transportasi publik seperti KRL cukup terjangkau, biaya perjalanan secara keseluruhan tetap tinggi akibat beban first mile dan last mile.
“Misalnya KRL Rp 3.500 sampai Rp 6.000, tapi ojol-nya Rp 25 ribu, parkir Rp 10 ribu. Ini yang kita akan pelajari agar bisa mereduksi biaya perjalanan masyarakat,” katanya.
Ia menambahkan, Direktorat Jenderal ITM yang baru dibentuk pada Mei 2025 bertugas menyusun kebijakan untuk mewujudkan sistem transportasi terintegrasi. Tujuannya, meningkatkan efisiensi biaya, kecepatan layanan, serta kenyamanan dan keandalan transportasi di berbagai moda. “Transportasi terintegrasi ini harus terhubung, terpadu, dan berkelanjutan,” tegas Risal.
Ia juga membandingkan karakteristik sistem transportasi di Jakarta dengan kota-kota besar seperti Tokyo, Bangkok, dan Hanoi. Jakarta memiliki luas wilayah terkecil yakni 661,5 km persegi, namun dihuni oleh 10,64 juta jiwa, dengan tingkat kepadatan 16.132 jiwa per km persegi. Angka ini mendekati Tokyo yang memiliki kepadatan 16.916 jiwa per km persegi.
Dari sisi kualitas udara, Jakarta mencatatkan indeks 43,8 atau lebih baik dari Hanoi (45,4), tetapi masih tertinggal dari Tokyo (9,7) dan Bangkok (21,7). Tingkat kemacetan Jakarta mencapai 43 persen, lebih tinggi dari Hanoi (33 persen) dan Tokyo (30 persen), namun lebih rendah dari Bangkok (50 persen).
“Di Jakarta, 43 persen moda transportasi didominasi mobil. Tokyo justru didominasi kereta api (53,27 persen), sedangkan di Hanoi mayoritas masih menggunakan motor (57,75 persen),” ujar Risal.
Ia berharap integrasi antarmoda dapat mendorong masyarakat beralih ke transportasi publik dan sekaligus memperbaiki indeks kualitas hidup (IKH).
“IKH Jakarta itu 90, peringkat 249. Untuk posisi kemacetan, kita ternyata masih di bawah Hanoi. Ini yang agak menyedihkan dan akan kita kejar,” katanya.