REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Istilah rojali alias rombongan jarang beli mendapat sorotan. Ini merujuk pada fenomena banyak pengunjung yang datang ke pusat perbelanjaan, tetapi hanya sedikit yang melakukan transaksi. Bahkan, ada yang tidak membeli sama sekali.
Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonzus Widjaja, menilai fenomena ini tidak akan berlangsung selamanya. Menurut dia, kondisi akan kembali normal ketika daya beli masyarakat sudah pulih.
"Oleh karenanya, solusi utama tentunya adalah pemulihan daya beli masyarakat secepat-cepatnya, terutama untuk kelas menengah bawah," kata Alphonzus kepada Republika.co.id, Kamis (24/7/2025).
Ia memahami saat ini daya beli masyarakat belum pulih. Oleh karena itu, ada beberapa strategi yang harus dilakukan untuk menopang daya beli tersebut. Peritel dan pusat perbelanjaan membuat berbagai kegiatan atau program untuk membantu daya beli masyarakat.
"Sejak pasca-Idul Fitri, pusat perbelanjaan telah dan akan banyak menyelenggarakan berbagai program promo belanja sampai dengan menjelang Natal dan Tahun Baru nanti," ujar Alphonzus.
Ia menerangkan, program promo belanja diselenggarakan sekaligus untuk memperpendek periode low season yang tahun ini berlangsung lebih panjang. Hal itu akibat Ramadhan dan Idul Fitri datang lebih awal dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
"Seperti telah dijelaskan, saat ini pemerintah harus segera memulihkan daya beli masyarakat secepat-cepatnya, karena daya beli masyarakat sudah tertekan cukup lama, yaitu sejak tahun 2024 yang lalu," kata Alphonzus mempertegas.
Dalam pemberitaan Republika.co.id sebelumnya, Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso menyebut fenomena rombongan jarang beli atau yang dikenal dengan istilah rojali di pusat perbelanjaan bukan hal baru. Menurutnya, masyarakat bebas menentukan pilihan untuk berbelanja secara daring maupun langsung.
"Kan kita bebas, kan. Saya bilang, kita tuh bebas mau beli di online, mau beli di offline, kan bebas. Dari dulu juga ada itu," ujar Budi di Jakarta, Rabu (23/7/2025).
Ia mengatakan, kebanyakan konsumen ingin melihat barang secara langsung guna memastikan keaslian, harga, dan kualitas. Menurut Budi, hal tersebut umum dilakukan dan tidak ada yang salah dengan fenomena itu. Pemerintah tidak bisa mengintervensi masyarakat untuk mewajibkan pembelian produk dilakukan di mal atau toko fisik lainnya.