REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menjelaskan rencana penunjukan marketplace sebagai pemungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 atas transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) merupakan bentuk penyederhanaan administrasi perpajakan. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Rosmauli menegaskan, kebijakan ini mengalihkan mekanisme pembayaran PPh dari yang sebelumnya dilakukan mandiri oleh pedagang daring, menjadi pemungutan oleh platform lokapasar.
“Kebijakan ini tidak mengubah prinsip dasar pajak, justru memberikan kemudahan karena sistem pemungutan dilakukan langsung oleh marketplace tempat mereka berjualan,” ujar Rosmauli, Kamis (20/6/2025).
Ia memastikan, hanya pedagang dengan omzet di atas Rp500 juta per tahun yang akan dikenakan pemungutan PPh 22. Artinya, pelaku UMKM dengan omzet di bawah ambang batas itu tetap tidak dipungut pajak, sesuai ketentuan dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Skema ini, lanjut Rosmauli, bertujuan memperkuat kepatuhan pajak tanpa menciptakan jenis pajak baru atau menambah beban pelaku usaha.
“Ini untuk memastikan perlakuan perpajakan yang adil dan setara, serta menutup celah aktivitas ekonomi tersembunyi,” katanya.
DJP berharap dengan pelibatan marketplace sebagai pemungut, kepatuhan pajak menjadi lebih proporsional dan kontribusi pelaku usaha mencerminkan kapasitas usaha yang sesungguhnya.
Kebijakan ini masih dalam tahap finalisasi, dan penyusunannya dilakukan dengan prinsip meaningful participation, yaitu melibatkan pelaku industri dan pemangku kepentingan lainnya dalam proses kajian dan diskusi.
Rosmauli menyebutkan, tanggapan dari industri sejauh ini cukup positif. DJP berkomitmen menyosialisasikan aturan secara terbuka dan transparan saat sudah resmi ditetapkan.
“Kami memahami pentingnya kejelasan bagi para pelaku usaha dan masyarakat. Oleh karena itu, kami akan menyampaikan secara lengkap kepada publik bila aturan ini sudah berlaku,” ujar dia.