REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Ekonom Permata Bank Josua Pardede mengingatkan, angka garis kemiskinan versi Bank Dunia perlu dimaknai secara berhati-hati. Hal itu bertujuan agar tidak menimbulkan kesimpulan yang menyesatkan dalam konteks nasional.
“Garis kemiskinan Bank Dunia memiliki tujuan utama untuk komparabilitas global, bukan untuk pengambilan kebijakan nasional langsung,” kata Josua saat dihubungi di Jakarta, Selasa (10/6/2025).
Dia menjelaskan, Bank Dunia menggunakan pendekatan purchasing power parity (PPP) untuk menyesuaikan daya beli antarnegara. Sementara itu, dalam konteks nasional, telah ada data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang menggunakan pendekatan kebutuhan dasar atau cost of basic needs (CBN) yang jauh lebih kontekstual dan sesuai dengan karakteristik konsumsi rumah tangga Indonesia.
Untuk komponen makanan, misalnya, BPS menggunakan standar konsumsi minimal 2.100 kilokalori (kkal) per orang per hari dan memperhitungkan pola konsumsi aktual masyarakat, termasuk makanan pokok seperti beras.
BPS juga memperhitungkan kebutuhan dasar nonmakanan seperti pendidikan dan perumahan.
Sebagai akibat dari perbedaan tujuan dan metodologi ini, maka perbedaan hasil pun signifikan. Per September 2024, BPS mencatat tingkat kemiskinan nasional sebesar 8,57 persen atau sekitar 24 juta jiwa.
Sementara menurut Bank Dunia, dengan garis kemiskinan 6,85 dolar AS PPP per kapita per hari (menggunakan PPP 2017 atau sebelum revisi), sekitar 60,3 persen penduduk Indonesia pada 2024 dianggap hidup di bawah standar kemiskinan menengah atas.
Kesenjangan ini akan semakin besar dengan revisi ke 8,30 dolar AS (PPP 2021 untuk negara berpendapatan menengah atas).