REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengaku telah menerima aspirasi terkait izin usaha pertambangan (IUP) nikel yang dinilai merusak ekosistem pariwisata Raja Ampat, Papua Barat Daya. Bahlil menyatakan akan memanggil pihak-pihak terkait untuk menyelesaikan persoalan tersebut.
“Saya ada rapat dengan dirjen, saya akan panggil pemilik IUP, mau BUMN atau swasta. Kita memang harus menghargai, karena di Papua itu ada otonomi khusus, sama dengan Aceh. Jadi perlakuannya juga khusus,” ujar Bahlil usai menghadiri acara Human Capital Summit 2025 di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Selasa (3/6/2025).
Ia mengatakan akan melakukan evaluasi terhadap polemik tersebut dan tidak menutup kemungkinan untuk membatasi aktivitas pertambangan di kawasan itu. Bahlil menyebut akan mendengarkan penjelasan dari berbagai pihak sebelum mengambil keputusan, termasuk dari pelaku usaha yang ingin melakukan aktivitas pertambangan dan pembangunan smelter di Raja Ampat.
“Saya melihat ada kearifan-kearifan lokal yang belum disentuh dengan baik. Jadi saya akan coba untuk melakukan evaluasi,” ucapnya.
Bahlil menyebut izin usaha pertambangan di kawasan Raja Ampat telah ada sejak lama, bahkan sebelum dirinya menjabat sebagai Menteri ESDM pada Agustus 2024. “IUP-nya sudah ada sebelum saya jadi Menteri ESDM. Nanti tambangnya itu kita akan sesuaikan dengan Amdal saja,” kata Bahlil.
Polemik tambang nikel di Raja Ampat mencuat setelah masyarakat dan sejumlah aktivis lingkungan menolak kehadiran perusahaan tambang yang dinilai mengancam kelestarian alam dan pariwisata di wilayah tersebut. Raja Ampat dikenal sebagai salah satu destinasi ekowisata kelas dunia dengan keanekaragaman hayati laut yang tinggi dan terumbu karang terbaik di dunia.
Sejumlah organisasi masyarakat sipil menilai eksploitasi sumber daya alam di kawasan ini berpotensi merusak ekosistem laut serta mengancam mata pencaharian masyarakat lokal yang bergantung pada sektor pariwisata dan perikanan. Kritik juga diarahkan kepada pemerintah pusat yang dinilai kurang transparan dalam proses perizinan.