REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) mengamanatkan negara untuk menggratiskan pendidikan dasar sembilan tahun dari SD hingga SMP, baik negeri maupun swasta. Meski putusan tersebut merepresentasikan semangat luhur untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, dari sudut pandang ekonomi, kebijakan ini dinilai berpotensi memperlebar defisit fiskal, mengingat kondisi kemampuan finansial negara saat ini.
Ekonom dan pakar kebijakan publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, mengatakan putusan MK tersebut secara moral dan konstitusional sulit untuk dibantah. Sebab, pendidikan merupakan hak dasar warga negara.
Namun, menurut dia, dalam ranah kebijakan publik, setiap hak yang dijamin negara pasti menuntut alokasi sumber daya, yakni uang rakyat. “Pertanyaannya bukan pada nilai moral dari keputusan tersebut, tetapi pada kemampuan keuangan negara untuk mengimplementasikannya secara adil dan berkelanjutan,” ujar Achmad dalam keterangannya, dikutip Sabtu (31/5/2025).
Ia menilai, visi luhur yang tidak dibarengi mekanisme pelaksanaan yang realistis akan menimbulkan risiko kegagalan sistemik. Mengacu pada kondisi fiskal, realisasi pendapatan negara pada kuartal I 2025 tercatat sebesar Rp 516,1 triliun, atau 17,2 persen dari target pendapatan negara dalam APBN 2025 sebesar Rp 3.005,1 triliun.
Sementara itu, belanja negara hingga kuartal I 2025 telah mencapai Rp 620,3 triliun atau 17,1 persen dari target APBN 2025 sebesar Rp 3.621,3 triliun. Dengan demikian, tercatat defisit sebesar Rp 104,2 triliun.
“Anggaran pendidikan memang tampak besar, yakni sekitar Rp 724,3 triliun atau 20 persen dari APBN. Namun, realisasi hingga Februari baru menyentuh Rp 76,4 triliun. Artinya, belanja pendidikan pun belum sepadan dengan ambisi kebijakan,” kata Achmad.
Ia menjelaskan, putusan MK memperluas cakupan penerima manfaat pendidikan gratis. Sekolah swasta, yang selama ini hidup dari iuran masyarakat dan operasional internal, kini harus turut dibebaskan dari biaya pendidikan.
Hal ini tentu menuntut kompensasi dari negara. Menurut Achmad, hitungan awal menunjukkan setidaknya dibutuhkan tambahan Rp 1,3 triliun untuk menanggung biaya pendidikan siswa SD dan SMP di sekolah swasta. Angka tersebut belum termasuk operasional, peningkatan kualitas, insentif guru, maupun rehabilitasi infrastruktur.
“Tanpa desain anggaran baru yang mendalam, beban ini tidak akan tertangani,” ujarnya.
