REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Mahendra Siregar, menegaskan perlunya penambahan jumlah pelaku industri keuangan syariah guna menjawab kesenjangan antara literasi dan inklusi. Diketahui, tingkat literasi keuangan syariah telah mencapai sekitar 40 persen, sementara tingkat inklusinya hanya sekitar 12 persen.
Mahendra menyebut fenomena ini sebagai anomali yang justru menjadi peluang. “Dalam keuangan syariah, justru yang terjadi sebaliknya. Pemahaman masyarakat terhadap keuangan syariah jauh lebih besar dibandingkan jumlah yang benar-benar memiliki akses terhadapnya,” ujar Mahendra dalam sambutannya di Sarasehan Ekonom Islam & Muktamar V IAEI 2025 di Puri Agung Convention Hall, Hotel Grand Sahid, Jakarta, Kamis (15/5/2025).
Ia menyebut kondisi tersebut sebagai good problem, karena masyarakat telah memiliki pemahaman, namun fasilitas layanan belum memadai. “Bus-nya harus lebih banyak,” tegas Mahendra, mengibaratkan perlunya menambah penyedia layanan keuangan syariah, bukan hanya peminatnya.
Untuk menjawab tantangan tersebut, OJK menyiapkan tiga langkah strategis. Pertama, memperbanyak “bus” melalui kebijakan spin-off dari lembaga induk konvensional. “Kita harus pastikan spin-off yang dilakukan benar-benar menuju entitas besar, bukan hanya menambah jumlah lembaga kecil yang tidak signifikan kontribusinya,” ujarnya.
Saat ini, dua Unit Usaha Syariah (UUS) perbankan sedang dalam proses spin-off menjadi bank umum syariah penuh. Keduanya adalah BTN Syariah, UUS dari Bank Tabungan Negara, dan CIMB Niaga Syariah, unit syariah dari Bank CIMB Niaga. Keduanya diproyeksikan menjadi pesaing baru Bank Syariah Indonesia (BSI) dalam skala nasional.
“Mudah-mudahan dalam waktu dekat satu, kemudian satu lagi akan menyusul tidak lama,” ujar Mahendra.
Di sektor asuransi, OJK mencatat sekitar 70 unit dalam pipeline untuk melakukan spin-off pada periode 2025–2026. Sementara itu, pada tahun ini saja ditargetkan sekitar 20 unit rampung proses pemisahan.
Langkah kedua adalah mendorong inovasi dan diversifikasi produk keuangan syariah. “Yang penting adalah kecepatan dan kapasitas kita dalam merumuskan, mengesahkan, dan memasarkan produk-produk tersebut sesuai kaidah syariah,” kata Mahendra.
Ketiga, OJK berkomitmen memperkuat infrastruktur digital seperti e-KYC syariah dan e-IPO syariah demi mendukung ekosistem yang lebih inklusif.
Mahendra juga menyoroti amanat pembentukan Komite Pengembangan Keuangan Syariah dalam Undang-Undang P2SK. Komite ini berada di bawah OJK dan akan melibatkan seluruh sektor, termasuk perwakilan MUI dan kalangan akademisi.
“Komite ini tidak akan menggantikan peran DSN-MUI, tetapi akan mempercepat diskusi, pemahaman, dan interaksi dalam menghasilkan produk, teknologi, serta mempercepat proses mulai dari pendaftaran hingga pengesahan,” ujar Mahendra.