REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia (UI) sekaligus pengamat pasar modal Budi Frensidy menilai pasokan likuiditas dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dan Badan Pengelolaan Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara) bisa berdampak positif ke pasar modal Indonesia. Dengan pasokan likuiditas kedua institusi itu ke pasar modal, Ia memproyeksikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bisa menembus level 7.000 dalam beberapa bulan ke depan.
“Mestinya bisa mengangkat IHSG menuju 7.000,” ujar Budi saat dihubungi di Jakarta, Selasa (15/4/2025).
Untuk penguatan IHSG pada pekan ini, ia menyebutkan sentimen domestiknya yaitu seiring banyaknya perusahaan-perusahaan tercatat (emiten) yang melakukan aksi buyback saham.
Selain itu, juga berkat adanya emiten- emiten yang mengumumkan pembagian dividen dengan nilai yang besar.
Di sisi lain, ia merekomendasikan pelaku pasar untuk tetap menggunakan dana dingin untuk berinvestasi di tengah pasar saham yang masih volatile akibat sentimen dari global, utamanya dari Amerika Seikat (AS).
“Investor tetap harus menggunakan dana yg tidak terpakai minimal 1- 2 tahun ke depan, dan harus selalu ada kas atau dana tunai untuk jaga-jaga jika pasar kembali terkoreksi,” ujar Budi.
Chief Investment Officer (CIO) BPI Danantara Pandu Sjahrir menyampaikan Danantara siap menjadi liquidity provider atau pemasok likuiditas bagi pasar modal Indonesia.
Pasokan likuiditas akan dihasilkan Danantara dari akumulasi dividen yang dihimpun dari perusahaan-perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang tergabung dalam Danantara.
“Nanti kita lihat dari hasil dividen kita parking di mana, bisa saja salah satunya disana (pasar modal), kurang lebih gitu. Nanti dividen baru akhir bulan ini masuk ke kami (Danantara). Dari situ harus mulai dialokasikan ke mana, tentu yang paling cepat ya pertama di public market, tapi tentu kita udah ada proyek- proyek,” ujar Pandu
Sementara itu, BPJS Ketenagakerjaan sebagai institusi keuangan negara terbesar dengan dana kelolaan sebesar 48 miliar dolar AS, berencana meningkatkan alokasi investasi pada saham domestik dari sekitar 10 persen menjadi 15-20 persen dalam kurun waktu tiga tahun ke depan.
Strategi itu ditempuh untuk memanfaatkan peluang dari koreksi pasar dan mengoptimalkan potensi imbal hasil, dengan target pertumbuhan "return" sebesar 13 persen pada 2025.
Investasi akan difokuskan pada saham-saham berkapitalisasi besar di sektor-sektor strategis seperti perbankan, telekomunikasi, komoditas dan barang konsumsi.