Selasa 08 Apr 2025 16:12 WIB

Ekonomi Indonesia Minim Terkait Perdagangan Global, Pasar Dinilai Bakal Segera Pulih

Menurutnya, pasar berpotensi pulih dengan bentuk kurva V.

Aktivitas bongkar muat peti kemas di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (26/9/2024).
Foto: Republika/Prayogi
Aktivitas bongkar muat peti kemas di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (26/9/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Head of Research Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro menilai ekonomi domestik tidak terlalu rentan terhadap guncangan perdagangan global. Menurutnya, pasar berpotensi pulih dengan bentuk kurva V karena masuknya likuiditas global ke dalam negeri.

Dengan Exchange-Traded Fund (ETF) ekuitas Indonesia telah turun hingga 10 persen dalam sepekan saat pasar lokal tutup, Satria berpendapat, hampir dapat dipastikan bahwa pemutus arus akan dipicu saat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dibuka pada hari ini.

Baca Juga

"Namun, ada kemungkinan pembeli institusional asing dan lokal akan muncul, dengan tingkat cash yang sudah tinggi karena penjualan ekuitas telah meningkat sebelum liburan panjang Idulfitri," ujar Satria dalam laporan risetnya di Jakarta, Selasa.

Bagi Indonesia, ekspor Amerika Serikat (AS) hanya mencakup 2 persen dari produk domestik bruto (PDB) yang merupakan paparan makro terkecil di Asia Tenggara (Thailand 11 persen, Malaysia 10 persen).

Produk Indonesia akan dikenakan pajak sebesar 32 persen oleh AS. Namun, kata dia, hal itu tetap menjadi salah satu tarif impor terendah di antara pusat-pusat tenaga kerja murah lainnya, dengan bea masuk hampir 37-49 persen diterapkan ke Bangladesh, Kamboja, China, Sri Lanka, dan Vietnam, yang merupakan pesaing Indonesia untuk menarik investasi.

"Mengingat paparan perdagangan yang minimal, Indonesia sebenarnya berada di zona "Goldilocks" di tengah harga minyak yang lebih rendah, penurunan suku bunga global, dan latar belakang makro di dalam negeri,” tuturnya.

Dalam tiga hari terakhir, lanjut dia, pertumpahan darah pasar ekuitas paling parah terjadi di negara-negara yang sangat terpapar pada perdagangan global seperti Hong Kong, Jepang, Singapura, Taiwan. Indeks saham di emerging markets seperti India dan Malaysia penurunannya kurang dari 8 persen.

Satria mencatat bahwa sekarang pada posisi Rp 17.000 per dolar AS, rupiah telah terdepresiasi sebesar 11 persen dalam enam bulan terakhir, dan hal itu sebenarnya menawarkan lindung nilai alami terhadap tarif AS. Depresiasi rupiah telah terjadi di tengah pelemahan umum dalam indeks dolar (DXY), dengan sebagian besar mata uang Asia sebenarnya terapresiasi baru-baru ini.

"Kami pikir mata uang yang dinilai rendah dapat meningkatkan daya saing ekspor manufaktur Indonesia ke AS dan daya tarik ekuitas dan obligasi di kalangan investor asing,” kata Satria.

Ia pun memperkirakan tarif AS yang baru akan memberikan dampak minimal terhadap laba perusahaan Indonesia, yang sudah berada pada basis rendah untuk estimasi 2025.

Sebaliknya, menurut riset Bahana, margin perusahaan-perusahaan di Indonesia mungkin terkena dampak positif, karena rupiah telah terdepresiasi sebesar 5 persen dalam sebulan tetapi harga minyak, yang menjadi cost utama perusahaan-perusahaan di Indonesia, telah turun sebesar 15 persen.

"Pandangan kami adalah kapitulasi Presiden Donald Trump akan terjadi lebih cepat daripada yang diperkirakan; sedikit saja tanda-tandanya akan memicu pemulihan pasar yang akan lebih dahsyat daripada tahun 2020," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement