REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat pasar uang Ariston Tjendra menilai, kurs rupiah berpotensi menguat seiring aksi buy on dip (membeli saat harga turun). Nilai tukar telah tertekan cukup dalam di tengah ancaman penerapan kebijakan tarif dari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terhadap Meksiko, Kanada, dan China.
Pagi ini, nilai tukar emerging market terhadap dolar AS cukup dengan rata-rata mengalami penguatan. Begitu pula dengan indeks saham Asia yang menunjukkan capaian positif.
“Di tengah ancaman penerapan kenaikan tarif dari Presiden Trump untuk Meksiko, Kanada dan China, pelaku pasar kembali masuk ke aset berisiko pagi ini. Bisa saja ini sebagai aksi buy on dip karena harga telah tertekan cukup dalam,” ungkapnya di Jakarta, Senin (3/3/2025).
Berdasarkan keadaan tersebut, dia memperkirakan kurs rupiah menguat terhadap dolar ke arah Rp 16.500 dengan potensi resisten di kisaran Rp 16.600.
Kendati demikian, sentimen dari kebijakan tarif AS masih berlangsung. Artinya, niat Trump untuk mengenakan tarif yang lebih tinggi belum redup. “Sentimen ini bakal terus memberikan tekanan ke aset berisiko ke depannya,” ujar Ariston.
Seiring pelemahan rupiah yang sedang berlangsung beberapa hari terakhir karena sentimen-sentimen eksternal, dia menilai hal ini sudah diprediksi banyak pihak di tahun lalu.
“Sentimen-sentimen tersebut masih membayangi pergerakan pasar hingga saat ini. Apalagi, pasar masih skeptis dengan perkembangan ekonomi dalam negeri. Jadi, pelemahan rupiah ini ya masih terbilang wajar,” kata dia.
Nilai tukar rupiah (kurs) pada pembukaan perdagangan hari Senin di Jakarta menguat 56 poin atau 0,34 persen menjadi Rp 16.540 per dolar Amerika Serikat (AS) dari sebelumnya Rp 16.596 per dolar AS.