REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun (PPDP) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Ogi Prastomiyono menyatakan sekitar 70,5 persen, atau 103 perusahaan dari 146 perusahaan asuransi dan reasuransi, memenuhi target ekuitas minimum tahap pertama. Menurut Peraturan OJK (POJK) Nomor 23 Tahun 2023 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah, target ekuitas minimum tahap pertama tersebut harus dipenuhi paling lambat pada 2026.
“Adapun untuk tahap 2 di tahun 2028, OJK memantau sudah terdapat 66 perusahaan yang telah memenuhi target ekuitas minimum untuk KPPE (Kelompok Perusahaan Perasuransian berdasarkan Ekuitas) 1, dan 44 perusahaan telah memenuhi target ekuitas minimum untuk KPPE 2,” kata Ogi Prastomiyono, di Jakarta, Selasa (28/1/2025).
Ia mengatakan bahwa pihaknya akan terus melakukan monitoring terhadap pemenuhan kewajiban ekuitas tersebut dan akan melakukan assessment atas peluang-peluang yang dapat dilakukan oleh perusahaan asuransi dan reasuransi untuk memenuhi ketentuan tersebut.
Pada tahap pertama, setiap perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, serta perusahaan reasuransi syariah masing-masing wajib memiliki ekuitas minimum sebesar Rp 250 miliar, Rp 100 miliar, Rp 500 miliar, dan Rp 200 miliar.
Kemudian pada tahap kedua, perusahaan asuransi dan reasuransi tersebut, baik konvensional maupun syariah, akan dibagi dalam dua kelompok, yakni Kelompok Perusahaan Perasuransian berdasarkan Ekuitas (KPPE) 1 dan KPPE 2.
Perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, serta perusahaan reasuransi syariah yang masuk dalam KPPE 1 masing-masing diwajibkan untuk memiliki ekuitas minimum sebesar Rp 500 miliar, Rp 200 miliar, Rp 1 triliun, dan Rp 400 miliar.
Sementara terkait kewajiban perusahaan asuransi untuk memiliki aktuaris, Ogi menuturkan bahwa hingga 24 Desember 2024 terdapat 9 perusahaan yang masih belum memiliki maupun mengajukan calon aktuaris perusahaan.
Pihaknya akan terus memonitor pelaksanaan supervisory action bagi perusahaan yang belum memenuhi ketentuan tersebut, seperti peningkatan sanksi peringatan yang sebelumnya telah diberikan serta permintaan rencana tindak atas pemenuhan aktuaris perusahaan.
“Selain itu, OJK juga terus melakukan koordinasi secara berkelanjutan dengan Persatuan Aktuaris Indonesia sebagai lembaga yang mengeluarkan sertifikasi aktuaris dalam perspektif suplai dari tenaga ahli aktuaris,” ujarnya.
Sedangkan mengenai kewajiban spin off atau pemisahan unit usaha syariah perusahaan asuransi dan reasuransi, Ogi menyampaikan bahwa satu unit usaha syariah perusahaan asuransi jiwa telah memperoleh izin usaha per 6 Januari 2025.
“Selain itu, satu unit usaha syariah perusahaan asuransi umum telah selesai melakukan pengalihan portofolio kepada perusahaan asuransi syariah yang telah ada,” katanya pula.