Selasa 28 Jan 2025 15:24 WIB

Pengamat Wanti-Wanti Dampak Kebijakan American First bagi Perekonomian Indonesia

Menurutnya, kebijakan tersebut juga berpotensi memicu ketidakstabilan harga.

Rep: Eva Rianti/ Red: Ahmad Fikri Noor
Presiden Donald Trump memegang perintah eksekutif setelah menandatanganinya pada acara parade Pelantikan Presiden di Washington, Senin (20/1/2025) waktu setempat.
Foto: AP Photo/Matt Rourke
Presiden Donald Trump memegang perintah eksekutif setelah menandatanganinya pada acara parade Pelantikan Presiden di Washington, Senin (20/1/2025) waktu setempat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ekonom yang juga eks Staf Khusus Menteri Keuangan Masyita Crystallin mewanti-wanti pemerintah mengenai dampak kebijakan American First terhadap potensi goyangnya perekonomian Indonesia.

“Kebijakan proteksionisme AS turut memengaruhi perekonomian Indonesia, terutama karena posisi Indonesia sebagai negara dengan ekonomi terbuka yang sangat bergantung pada perdagangan internasional. Peningkatan tarif impor AS dapat mengurangi daya saing produk ekspor Indonesia, terutama di sektor manufaktur dan tekstil, yang selama ini menjadi andalan untuk pasar global,” kata Masyita dalam keterangannya, dikutip Selasa (28/1/2025).

Baca Juga

Masyita mengungkapkan adanya kekhawatiran terhadap dampak kebijakan tersebut bagi ekonomi domestik. Menurutnya, kebijakan tersebut juga berpotensi memicu ketidakstabilan harga komoditas global.

“Indonesia, yang merupakan eksportir utama komoditas seperti batu bara, minyak kelapa sawit, dan karet, dapat terdampak oleh fluktuasi harga yang tajam akibat perang dagang global. Penurunan harga komoditas akan berimplikasi pada menurunnya pendapatan negara dari sektor ini, sekaligus mengurangi daya beli masyarakat di wilayah penghasil komoditas,” jelasnya.

Di sisi lain, langkah negara-negara mitra dagang AS untuk melindungi ekonomi domestik mereka dapat mempersulit akses produk Indonesia ke pasar internasional. Sebagai contoh, Masyita menyebut, penerapan kebijakan anti-dumping atau hambatan non-tarif oleh mitra dagang utama seperti Uni Eropa dan China dapat memperkecil peluang ekspor Indonesia.

“Kebijakan American First yang diusung oleh Presiden Donald Trump sejak awal kepemimpinannya memunculkan kekhawatiran tidak hanya di kalangan seteru utama AS seperti China, tetapi juga di antara negara-negara sekutu seperti Uni Eropa (UE), Jepang, dan Korea Selatan,” terangnya.

Lebih lanjut, narasi nasionalisme ekonomi tersebut dikhawatirkan dapat memicu eskalasi perang dagang yang berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi global. Salah satu kebijakan utama yang diantisipasi adalah penerapan tarif impor hingga 25 persen untuk barang-barang yang masuk ke AS, termasuk tarif khusus sebesar 60 persen untuk barang-barang asal China.

Berdasarkan data dari situs Tax Foundation, penerapan skema tarif 10 persen dapat meningkatkan pendapatan AS hingga 2 triliun dolar AS, sementara skema tarif 20 persen dapat menghasilkan 3,3 triliun dolar AS selama periode 2025—2034. Namun, peningkatan pendapatan tersebut memiliki konsekuensi negatif berupa eskalasi perang dagang, yang dapat memicu respons balik dari negara-negara mitra dagang AS.

Sebagai contoh, Korea Selatan telah menyiapkan dana sebesar 10 triliun won, atau sekitar sekitar Rp 111,2 triliun untuk menstabilkan rantai pasokan domestiknya sebagai langkah antisipasi. Langkah serupa juga dilakukan oleh negara-negara lain untuk melindungi perekonomian mereka dari dampak kebijakan proteksionisme AS.

“Kebijakan moneter global saat ini cenderung menahan suku bunga dalam posisi konstan atau dinamis dalam rentang terbatas. Hal ini dilakukan sembari menunggu realisasi penuh dari kebijakan-kebijakan sensasional yang direncanakan oleh Presiden Trump,” kata Masyita.

Tekanan-tekanan yang dilancarkan AS melalui kebijakan proteksionisme itu, lanjutnya, adalah bagian dari strategi agresif untuk memastikan posisi utama AS dalam perekonomian global. Kebijakan tersebut, meskipun berpotensi meningkatkan pendapatan negara dalam jangka pendek, berisiko memicu ketegangan internasional yang dapat mengganggu stabilitas ekonomi global.

“Negara-negara mitra dagang AS diprediksi akan terus meningkatkan langkah-langkah perlindungan ekonomi domestik mereka untuk menghadapi kebijakan tersebut,” ujar Masyita.

Ia menambahkan, meski kebijakan American First perlu diwaspadai, ada juga kesempatan atau peluang untuk memperkuat pasar domestik. Ia menyebut, dengan mengalihkan fokus ke peningkatan konsumsi dalam negeri dan diversifikasi ekspor ke negara-negara lain yang potensial, Indonesia dapat memitigasi risiko dari kebijakan proteksionisme AS.

“Pemerintah Indonesia perlu mendorong inovasi di sektor industri dan mempercepat reformasi birokrasi untuk meningkatkan daya saing produk lokal,” kata Masyita.

Ia menyebut, agar Indonesia bisa lebih mandiri dalam mengelola ekonominya, Pemerintah dapat menggunakan momentum tersebut untuk mendorong hilirisasi industri, sehingga nilai tambah produk Indonesia meningkat sebelum diekspor.

“Hilirisasi tidak hanya memperkuat perekonomian domestik, tetapi juga menciptakan lapangan kerja baru bagi masyarakat,” tutupnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement