Jumat 17 Jan 2025 18:25 WIB

Dana Peremajaan Sawit Rakyat Dihentikan, Ini Alasannya

Menurutnya, birokrasi menjadi kendala utama penyaluran dana tersebut.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Ahmad Fikri Noor
Petani mengumpulkan buah sawit hasil panen di perkebunan Mesuji Raya, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan.
Foto: ANTARA FOTO/Budi Candra Setya
Petani mengumpulkan buah sawit hasil panen di perkebunan Mesuji Raya, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan alasan pemerintah menghentikan dana peremajaan sawit rakyat. Menurutnya, birokrasi menjadi kendala utama penyaluran dana tersebut.

"Dana peremajaan sawit itu tertahan karena sekali lagi, birokrasi. Bahwa sawit itu clarity (butuh kejelasan) daripada keberadaan sertifikat. Kita juga tahu ada beberapa sawit masyarakat yang terjadi keterlanjuran," ungkap Airlangga di kantornya, Jumat (17/1/2025).

Baca Juga

Penghentian ini juga terkait perubahan nomenklatur Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menjadi Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP). Dalam Surat Edaran Nomor S-246/DPKS.3/2025 yang diterbitkan Kementerian Keuangan, disebutkan bahwa dana peremajaan sawit dihentikan hingga batas waktu yang belum ditentukan.

Surat tersebut ditujukan kepada seluruh bank mitra BPDPKS, lembaga pekebun penerima dana peremajaan, dan lembaga penerima dana sarana prasarana perkebunan kelapa sawit.

Airlangga menegaskan, proses perubahan nomenklatur ini akan segera diselesaikan. "(Perubahan nomenklatur BPDPKS selesai) segera, secepat mungkin," tegasnya.

Sementara itu, Indonesia meraih kemenangan penting di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dalam kasus diskriminasi kelapa sawit melawan Uni Eropa. Airlangga Hartarto menyebut keputusan ini sebagai bukti kemampuan Indonesia melawan diskriminasi internasional.

"Kemarin kita menang di WTO untuk kelapa sawit. Jadi itu satu hal yang membuktikan bahwa dalam kasus kelapa sawit dan biodiesel, diakui Eropa melakukan diskriminasi terhadap Indonesia. Kemenangan ini merupakan bukti bahwa negara Indonesia kita bisa fight dan kita bisa menang," ujar Airlangga.

WTO memutuskan bahwa Uni Eropa menggunakan data yang tidak tepat dalam menetapkan biofuel berbasis kelapa sawit sebagai komoditas berisiko tinggi (high ILUC-risk). Selain itu, kebijakan insentif pajak di Prancis yang hanya diberikan kepada biofuel berbasis rapeseed dan soybean juga dinilai diskriminatif.

Adapun putusan WTO ini akan diadopsi dalam waktu 60 hari dan mengikat bagi Indonesia dan Uni Eropa. Airlangga menyebut kemenangan ini berdampak pada kebijakan European Union Deforestation Regulation (EUDR), yang implementasinya ditunda hingga Desember 2025.

"Penundaan ini memberi kesempatan bagi Indonesia dan Malaysia untuk memperkuat strategi implementasi agar sawit juga tidak didiskriminasi," jelas Airlangga.

Selain itu, kemenangan ini diharapkan dapat mempercepat penyelesaian perundingan Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA). "Dengan kemenangan ini, saya berharap bahwa cloud ataupun yang selama ini menghantui perundingan IEU-CEPA ini bisa hilang dan kita bisa segera selesaikan IEU-CEPA," pungkasnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement