REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setelah bonanza nikel, perhatian pemerintah mulai merambah ke berbagai komoditas tambang lain. Salah satunya tembaga dan bauksit yang memiliki nilai strategis sebagai produk penopang ekosistem baterai dan transisi energi. Ini mengingat, pada 2040 diperkirakan Indonesia membutuhkan investasi Rp 97,8 triliun (6 miliar dolar Amerika Serikat/AS) untuk mendorong BESS (Battery Energy Storage System) dengan kapasitas total 32 gigawatt jam (GWh).
Melihat potensi yang besar, berbagai aturan dirilis, pembangunan smelter digenjot, ekspor bijih mentah dilarang. Harapannya, hilirisasi menjadi mesin pertumbuhan (engine of growth) yang memanfaatkan keunggulan komparatif Indonesia agar dapat sejajar dengan negara-negara industri maju.
Mencermati situasi hilirisasi tembaga dan bauksit, Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menerbitkan laporan berjudul “Nexus Ambisi Nilai Tambah dan Tata Kelola Hilirisasi Tembaga Bauksit di Indonesia”. Laporan ini merespon wacana pembukaan kembali izin ekspor konsentrat, sekaligus tantangan lingkungan, dan pendanaan kawasan hilirisasi dua komoditas strategis tersebut.
"Keputusan untuk penghentian ekspor tembaga mentah pada 2025 sudah tepat," tulis Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira Adhinegara dalam keterangan resmi dikutip Selasa (14/1/2025).
Ia berharap jangan sampai ada celah bagi pemerintah untuk kembali mengizinkan ekspor konsentrat tembaga yang bernilai tambah rendah. Menurutnya, justru momentum saat ini baik untuk mendorong perbaikan tata kelola hilirisasi tembaga dan bauksit. Sejak UU Minerba No.4 Tahun 2009, perusahaan tambang seperti PT Freeport Indonesia sudah diberikan waktu cukup lama mempersiapkan smelter, maka saatnya menjalankan hilirisasi secara konsisten.
Saat ini kapasitas produksi smelter tembaga baru di dalam negeri, belum mencapai 100 persen pada akhir 2024. Smelter tembaga yang terletak di Kawasan Ekonomi Khusus Java Integrated and Industrial Port Estate atau KEK JIIPE, Manyar, Gresik, Jawa Timur belum bisa beroperasi 100 persen pada Januari 2025. Insiden kebakaran yang terjadi di pabrik smelter Gresik, kata Bhima, perlu dijadikan bahan evaluasi, tapi bukan alasan ekspor konsentrat dibuka kembali.
Tak berbeda jauh dengan tembaga, ia menilai persoalan nasib hilirisasi bauksit juga memerlukan reformasi di berbagai aspek. Indonesia merupakan salah satu negara penghasil bauksit terbesar di dunia. Sayang, kinerja ekspor industri pengolahan bauksit cenderung melemah pada 2023. Berdasarkan data terakhir, volume ekspor industri pengolahan logam dasar bauksit pada 2023 hanya 396,1 ton, turun 41,6 persen dibanding 2022 (year-on-year). Kemudian nilai ekspornya turun 55,6 persen (yoy) menjadi 448,4 ribu dolar AS.
Soal hilirisasi bauksit, menurut Bhima, yang pertama kali dilakukan Prabowo adalah menyelesaikan banyaknya smelter yang mangkrak. Kementerian ESDM mencatat sebanyak 12 smelter bauksit dikembangkan, tetapi baru empat beroperasi. Salah satu kendala pembangunan smelter bauksit adalah sulitnya mencari pendanaan. Bank domestik belum banyak tertarik dalam mendanai proyek hilirisasi bauksit.