REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Riza Annisa Pujarama mengingatkan pemerintah untuk menekan suku bunga obligasi guna mengatasi beban utang negara.
“Suku bunga obligasi ini menjadi pekerjaan rumah agar kapasitas fiskal kita tidak terambil banyak untuk pembayaran bunga utang,” kata Riza dalam webinar Indef yang dipantau di Jakarta, Senin (18/11/2024).
Dia menambahkan rasio utang Indonesia saat ini memang masih berada di bawah batas aman yang ditentukan Undang-Undang, yakni pada posisi 38,68 persen dari batas 60 persen. Namun, yang lebih menjadi persoalan adalah beban pembayaran bunga utang, alih-alih utang pokoknya.
Riza meninjau beban bunga utang dari suku bunga obligasi. Dalam melihat rasio utang, Indonesia kerap dibandingkan dengan Amerika Serikat (AS) dan Jepang yang memiliki rasio utang jauh lebih tinggi. Akan tetapi, dari segi suku bunga obligasi, Indonesia memiliki level yang lebih tinggi.
Suku bunga obligasi Indonesia mencapai 6,88 persen, sementara AS hanya 4,45 persen, bahkan sebelumnya di bawah 1 persen. Suku bunga obligasi Jepang pun berada pada level yang rendah, yakni sekitar 1,08 persen, meski di tengah situasi ekonomi global yang bergejolak.
Sedangkan untuk tahun 2025 pemerintah menetapkan suku bunga Surat Berharga Negara (SBN) 10 tahun sebesar 7 persen, lebih tinggi dari proyeksi tahun ini yang sebesar 6,9 persen. Hal ini berpotensi menambah biaya untuk penarikan utang baru, sementara kebutuhan pembayaran utang tahun depan mencapai Rp 1.353,2 triliun.
Di sisi lain, penerimaan perpajakan justru melambat di 2024, dengan sektor-sektor ekonomi penggerak utama mengalami perlambatan. “Bukan tidak boleh berutang, tapi di balik peningkatan utang itu kita punya pekerjaan rumah besar di suku bunga obligasi, Ini yang membuat beban utang kita makin tinggi dan membebani fiskal kita,” tutur dia.
Untuk menekan suku bunga obligasi, Riza merekomendasikan pemerintah untuk memperkuat perekonomian domestik. Sentimen investor asing harus diarahkan ke arah positif dengan cara meningkatkan daya saing, termasuk stabilitas nilai tukar rupiah.
Selain itu, rencana transformasi ekonomi yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) perlu diakselerasi agar daya saing Indonesia makin kuat. “Akhirnya nanti juga suku bunga obligasi dan sentimen investor bisa lebih baik, dan memperbaiki rating risiko utang kita,” katanya.