REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia mengungkapkan, sekitar 30 persen dari subsidi yang dialokasikan untuk bahan bakar minyak (BBM) dan listrik tidak tersalurkan dengan tepat. Ia mencatat potensi kebocoran subsidi tersebut mencapai angka yang mengkhawatirkan hingga Rp 100 triliun.
“Sekitar 20 hingga 30 persen dari total subsidi yang ada bisa jadi tidak tepat sasaran, dan itu merupakan angka yang sangat signifikan, kurang lebih Rp 100 triliun,” ujarnya dalam Konferensi Pers Pembahasan Usulan Program Quick Win Kementerian Bidang Perekonomian di Hotel Four Seasons Jakarta, Ahad (3/11/2024).
Bahlil menjelaskan, estimasi kebocoran subsidi ini diperoleh dari laporan yang disampaikan oleh perusahaan negara yang memiliki tanggung jawab di bidang ini, seperti Pertamina dan PLN, serta BPH Migas. Adapun, untuk 2024, total subsidi yang disediakan mencapai Rp 435 triliun, yang mencakup kompensasi dan subsidi.
"Dari jumlah tersebut, Rp 83 triliun ditujukan untuk LPG. Namun, laporan dari PLN, Pertamina, dan BPH Migas menunjukkan adanya potensi ketidakakuratan dalam penyaluran subsidi BBM dan listrik,” ungkapnya.
Bahlil melanjutkan, akibat kebocoran subsidi ini, maka masyarakat yang seharusnya menerima manfaat, terutama kalangan kurang mampu, tidak dapat merasakannya sepenuhnya. “Subsidi yang dimaksudkan untuk membantu masyarakat miskin justru seringkali dinikmati oleh mereka yang lebih mampu secara ekonomi,” tutur Bahlil.
Oleh karenanya, dalam waktu dekat pihaknya akan segera melakukan rapat untuk mencari cara agar subsidi dapat tersalurkan dengan lebih tepat. Salah satu opsi yang sedang dipertimbangkan adalah penyaluran subsidi melalui Bantuan Langsung Tunai (BLT).
Alternatif lain yakni mengkombinasikan penyaluran subsidi BBM dengan sistem BLT, atau tetap menggunakan metode penyaluran yang telah ada sebelumnya. “Kami telah diberikan waktu dua pekan oleh Bapak Presiden untuk merampungkan pembahasan ini," ujar dia.