REPUBLIKA.CO.ID, HANOI -- Vietnam melaporkan pencapaian pertumbuhan ekonomi yang mengesankan pada kuartal ketiga tahun ini, dengan angka pertumbuhan tahunan mencapai 7,4 persen. Capaian ini melebihi pertumbuhan kuartal kedua yang telah direvisi menjadi 7,09 persen.
Pertumbuhan yang solid ini didorong oleh ekspor yang kuat, peningkatan produksi industri, serta arus masuk investasi asing yang terus meningkat, meskipun di tengah dampak dari Typhoon Yagi, topan terkuat di Asia yang melanda bulan lalu. Berdasarkan laporan dari Badan Statistik Umum, Vietnam tetap menjadi pusat manufaktur yang menarik bagi perusahaan-perusahaan multinasional, termasuk Samsung Electronics dan pemasok Apple seperti Foxconn dan Luxshare. Negara ini juga berhasil menarik investasi asing yang stabil, mencerminkan kepercayaan investor terhadap prospek ekonomi Vietnam.
“Ekonomi global mulai stabil, seiring dengan perbaikan dalam perdagangan barang, meredanya tekanan inflasi, pelonggaran kondisi keuangan, dan peningkatan pasokan tenaga kerja,” ungkap Badan Statistik tersebut seperti dikutip dari Reuters, Ahad (6/10/2024).
Berdasaekan data pada September menunjukkan bahwa ekspor Vietnam meningkat sebesar 10,7 persen dibandingkan tahun lalu (yoy), sementara produksi industri naik 10,8 persen. Arus investasi asing selama sembilan bulan pertama tahun ini juga meningkat sebesar 8,9 pereen dibandingkan tahun sebelumnya, mencapai 17,3 miliar dolar AS atau sekitar Rp 264,7 triliun.
Namun, Vietnam tidak luput dari dampak serius Typhoon Yagi yang melanda bagian utara negara tersebut sebulan lalu. Topan ini mengakibatkan lebih dari 300 orang kehilangan nyawa, memutus pasokan listrik, dan menghentikan produksi di berbagai sektor industri. Otoritas setempat memperkirakan kerugian material akibat bencana ini mencapai 3,3 miliar dolar AS atau sekitar Rp 49,9 triliun.
Indeks Manajer Pembelian (PMI) sektor manufaktur Vietnam, yang dilaporkan oleh S&P Global, mengalami penurunan menjadi 47,3 pada bulan September, dari 52,4 di bulan Agustus. Penurunan ini merupakan yang terbesar sejak November tahun lalu.
“Topan ini menandai akhir dari periode pertumbuhan yang kuat dalam sektor ini. Hujan lebat dan banjir menyebabkan penutupan sementara bisnis serta keterlambatan pada rantai pasokan dan jalur produksi," kata Andrew Harker, Direktur di S&P Global Market Intelligence Andrew Harker.
Adapun, Vietnam menargetkan pertumbuhan PDB tahun ini berada di kisaran 6,0 persen hingga 6,5 persen dan berusaha menjaga inflasi di bawah 4,5 persen. Menurut laporan Badan Statistik yang dirilis pada Ahad hari ini, harga konsumen pada bulan September mengalami kenaikan sebesar 2,63 persen dibandingkan tahun lalu, sementara penjualan ritel meningkat sebesar 7,6 persen.
Selama sembilan bulan pertama tahun ini, ekspor Vietnam meningkat 15,4 persen menjadi 299,63 miliar dolar AS atau sekitar Rp 4.520 triliun, sedangkan impor naik 17,3 persen menjadi 278,84 miliar dolar AS atau sekitar Rp 4.273 triliun, dengan surplus perdagangan mencapai 20,79 miliar dolar AS atau sekitar Rp 316 triliun.
Dana Moneter Internasional (IMF) pada akhir bulan lalu memperkirakan pertumbuhan PDB Vietnam sebesar 6,1 persen tahun ini, sedangkan Bank Pembangunan Asia (ADB) memperkirakan pertumbuhannya di angka 6,0 persen. Dalam laporannya, IMF menuliskan bahwa pertumbuhan ini didukung oleh permintaan eksternal yang terus kuat, investasi langsung asing yang resilien, serta kebijakan yang akomodatif. Meskipun demikian, baik IMF maupun ADB mengingatkan bahwa ketegangan geopolitik dan ketidakpastian yang ada dapat berdampak pada permintaan eksternal, yang menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi Vietnam.