REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Media Wahyudi Askar turut merespon wacana pemberian subsidi KRL berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK). Ia menilai hal itu harus dianalisis dari segi cost and benefit dengan hati-hati.
Wahyu melihat kebijakan tersebut bisa semakin 'memukul' kelas menengah yang tengah mengalami tekanan ekonomi. Ini seiring bertambahnya beban biaya hidup. Idealnya, justru pemerintah harus mensubsidi lebih banyak transportasi publik.
"Jika harga tiket berbeda berdasarkan kriteria tertentu yang dikaitkan dengan NIK, hal ini bisa mengurangi mobilitas sosial dan aksesibilitas transportasi publik, terutama bagi kelompok yang kurang mampu," kata Direktur Kebijakan Publik CELIOS itu kepada Republika, Jumat (30/8/2024).
Menggunakan NIK untuk menetapkan harga tiket, lanjut Wahyu, memerlukan akses dan penyimpanan data pribadi. Hal ini berpotensi menimbulkan masalah privasi dan keamanan data. Jika tidak dikelola dengan baik, bisa terjadi penyalahgunaan atau kebocoran data.
Verifikasi dan validasi data NIK bisa menjadi proses yang rumit. Terutama jika terjadi kesalahan data atau inkonsistensi. Ini dapat menghambat efisiensi proses pembelian tiket dan malah berpotensi disalahgunakan, free rider.
"Sistem berbasis NIK juga dapat disalahgunakan oleh individu untuk membeli tiket dengan harga lebih murah menggunakan NIK orang lain, terutama jika tidak ada mekanisme verifikasi identitas yang ketat," ujar Wahyu.
Ia menerangkan tidak semua orang mungkin memiliki NIK saat membeli tiket. Contohnya turis asing atau penduduk yang belum memiliki KTP. Itu termasuk mereka yang tinggal dijalanan dan tidak diakui status kependudukannya
Ia memahami tujuan pemerintah yang selama ini terus dikampanyekan. Apalagi kalau bukan agar subsidi bisa dinikmati orang yang benar-benar berhak. Sehingga dilakukan berbagai inovasi agar penyalurannya tepat sasaran.
"Terkait subsidi yang tepat sasaran, sebenarnya subsidi KRL dapat membantu kelas menengah. Ini jauh lebih tepat sasaran, dibandingkan subsidi lainnya seperti BBM yang justru banyak dinikmati oleh kelas atas. Persoalannya, saat ini kelas menengah bawah tidak punya banyak pilihan moda transportasi alternatif," tutur Wahyu.
Pengamat Kebijakan Publik, Trubus Rahadiansyah turut berbicara mengenai isu yang sedang memanas ini. Ia menilai pemerintah sepertinya memiliki agenda menaikkan tarif KRL.
Pada praktiknya ada pengurangan jatah subsidi nantinya. Saat ini dipukul rata. Semua pengguna sarana transportasi tersebut, membayar dengan harga yang sama. "Ya kalau saya melihat ini agenda untuk menaikkan tarif mas," kata Trubus.
Mengenai hal itu, menurutnya belum ada urgensinya. Pasalnya, kondisi ekonomi masyarakat sedang tidak baik-baik saja. Ia mengacu pada data BPS perihal adanya penurunan kelas. "Saya khawatir ini malah kontraproduktif dengan kebijakan yang selama ini, di mana masyarakat didorong menggunakan transportasi umum," ujar Trubus.
Jika ada kenaikan tarif, maka individu yang selama ini memakai jasa KRL, berpotensi kembali menggunakan kendaraan pribadi dalam setiap aktivitasnya. Efek dominonya ke berbagai arah. Bisa memperparah kemacetan. Lalu banyaknya kendaraan melintas, justru menambah polusi. "Maka itu efek dominonya harus dipertimbangkan," ujar Trubus.
Ia menyarankan pemerintah atau stakeholder terkait sebaiknya meningkatkan pelayanan KRL terlebih dahulu. Sehingga ketika ada pemberlakuan tarif baru berdasarkan kelas, tidak mengurangi minat pelanggan. Tentunya, harus ada perbedaan fasilitas yang didapatkan penumpang bersubdisi dengan yang tidak.
Dalam Dokumen Nota Keuangan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2025 disebutkan subsidi PSO dalam RAPBN tahun anggaran 2025 direncanakan sebesar Rp 7.960,1 miliar (Rp 7,9 triliun). Lebih rinci lagi, anggaran belanja Subsidi PSO tahun anggaran 2025 yang dialokasikan kepada PT Kereta Api Indonesia (Persero) sebesar Rp 4.797,1 miliar (Rp 4,79 triliun) untuk mendukung perbaikan kualitas dan inovasi pelayanan kelas ekonomi bagi angkutan kereta api antara lain KA ekonomi jarak jauh, KA ekonomi jarak sedang, KA ekonomi jarak dekat, KA ekonomi Lebaran, KRD ekonomi, KRL Jabodetabek, KRL Yogyakarta, dan LRT Jabodebek.
Ada poin dimana penerapan tiket elektronik berbasis NIK kepada pengguna transportasi KRL Jabodetabek. Dengan perubahan skema subsidi berbasis NIK, artinya tidak semua masyarakat bisa menerima layanan KRL dengan harga yang seperti sekarang.
"Penerapan tiket elektronik berbasis NIK kepada pengguna transportasi KRL Jabodetabek," demikian kutipan isi dokumen tersebut.
Sejak 2016 tarif KRL Jabodetabek masih sama. Besaran tarifnya sebesar Rp 3.000 untuk 25 kilometer (km) pertama dan ditambah 1.000 untuk setiap 10 kilometer.