REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi XI DPR Anis Byarwati menyebut data Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru mengungkap terjadi deflasi pada tiga bulan berturut-turut. Anis mengatakan, deflasi bisa menjadi sinyal bahaya karena mengindikasikan melemahnya daya beli masyarakat.
"Hal ini tecermin juga pada penurunan pertumbuhan tahunan simpanan di bank dari 7,8 persen jadi hanya 4,1 persen utamanya tabungan dibawah Rp 100 juta," ujar Anis dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (13/8/2024).
Ketua DPP PKS Bidang Ekonomi dan Keuangan itu menilai turunnya daya beli masyarakat memengaruhi pendapatan negara seperti penurunan PPN dan turunnya setoran pajak industri perdagangan. Anis mengatakan penurunan daya beli bisa berimbas pada, turunnya juga laba industri, dan perusahaan.
"Jadi negara juga ikut dirugikan," ucap Anis.
Anis mengkhawatirkan bila daya beli masyarakat yang anjlog berkepanjangan akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi terhambat sehingga kemiskinan akan semakin meningkat. Anis meminta pemerintah jangan lengah dan mewaspadai situasi saat ini.
"Jangan lengah dan menyangkal penurunan daya beli, angka PHK saja meningkat dan menurut data BPS jumlah pengangguran masih tercatat 7,2 juta jiwa," sambung Anis.
Wakil Ketua BAKN DPR RI ini kemudian menyebut Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Indonesia masih salah satu yang tertinggi di kawasan Asia Tenggara. Anis menyebut angka PHK juga mengalami lonjakan di periode Januari-Juni 2024 mencapai 32.064 orang menurut data Kemnaker.
"Angka tersebut naik 21,4 persen dari periode yang sama tahun lalu, artinya kondisi perekonomian melemah," lanjut Anis.
Legislator perempuan PKS ini mengingatkan pemerintah agar terus berupaya menjaga daya beli masyarakat dengan instrumen fiskal, utamanya untuk masyarakat kelas menengah yang belum mendapat perlindungan sosial. Selain itu untuk meningkatkan daya beli terutama dengan investasi, utamanya investasi yang berkualitas dan di sektor padat karya, yang selama ini Indonesia belum mendapatkan banyak investasi yang berkualitas. Anis menyebut pada akhir periode pemerintahan Joko Widodo jumlah kelas menengah menurun sehingga berdampak pada turunnya daya beli masyarakat.
"Jika pemerintahan tidak berakhir khusnul khotimah, tentunya akan mewariskan beban fiskal yang kian berat, anjloknya daya beli memengaruhi rasio pajak atas PDB dan menyulitkan pemerintahan baru," kata Anis.