Kamis 08 Aug 2024 16:00 WIB

Sinyal Tanda Bahaya, PHK di Mana-Mana Industri Tekstil Merana

Jumlah PHK pada Januari-Juni 2024 mencapai 32.064 orang.

Rep: Muhammad Nursyamsi/ Red: Gita Amanda
Indef menggelar diskusi publik bertajuk
Foto: ANTARA FOTO/Erlangga Bregas Prakoso
Indef menggelar diskusi publik bertajuk

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyoroti tingginya tingkat pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam beberapa bulan terakhir. Head of Center of Industry, Trade, and Investment Indef Andry Satrio Nugroho mengatakan data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) menunjukkan adanya tren kenaikan PHK sejak Januari hingga Juni 2024.

"Ini adalah alarm sinyal tanda bahaya. di mana kita melihat capaian tenaga kerja yang ter-PHK pada Januari hingga Juni ini capaiannya cukup tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Ini yang kami melihat ada yang tidak beres di tahun ini," ujar Andry saat diskusi publik Indef bertajuk "Industri Tekstil Menjerit, PHK Melejit" di Jakarta, Kamis (8/8/2024).

Baca Juga

Berdasarkan data tersebut, ucap Andry, jumlah PHK pada Januari-Juni 2024 mencapai 32.064 orang. Angka tersebut mengalami kenaikan cukup signifikan 21,4 persen dari periode yang sama tahun lalu sebanyak 26.400 orang.

Andry mengatakan wilayah PHK banyak berada di di pusat-pusat sentra industri. Salah satunya yang menyumbang cukup besar adalah industri tekstil dan pakaian jadi. 

"Kita tahu kita cukup berjaya begitu, ketika berbicara mengenai tekstil dan produk dari tekstil dan juga pakaian jadi di masa lalu," sambungnya. 

Andry menyebut sektor strategis dan juga padat karya ini justru malah yang mendapatkan tekanan cukup besar pada hari ini menimbulkan pertanyaan besar. Andry menilai kebijakan pemerintah tentu memiliki dampak besar dalam memengaruhi keberlangsungan industri tekstil dan pakaian jadi. 

Andry mengatakan arah kebijakan industri pemerintah memprioritaskan program hilirisasi. Namun sayangnya, fokus pemerintah hanya terpaku pada hilirisasi pertambangan.

"Padahal kita tahu tekstil, kalau kita tarik ke belakang, ini sebetulnya adalah bagian dari hilirisasi di migas. Jadi tekstil ini adalah produk hilirnya dari petrokimia. Jadi harusnya pemerintah juga memberikan upaya yang cukup besar dan tentunya tidak pandang bulu. Jangan memprioritaskan hanya sebatas hilirisasi pertambangan saja," lanjut Andry. 

Andry menjelaskan industri pengolahan nonmigas pada 2023 memberikan sekitar lebih 16,8 persen kontribusinya terhadap PDB. Andry memerinci lima subsektor industri berkontribusi 12,3 persen yang mana terdapat sektor makanan dan minuman, kimia farmasi, dan obat tradisional, elektronik, alat angkutan, serta tekstil dan pakaian jadi. 

"Saya yakin tahun ini, industri logam dasar akan menyusul tekstil dan pakaian jadi sebagai kontributor kelima industri terbesar terhadap PDB dan tekstil pada akhirnya akan turun," ucap dia. 

Andry menyebut melesunya kinerja industri tekstil dan pakaian jadi terlihat dari pertumbuhan yang selalu terkontraksi dalam beberapa kuartal terakhir. Pemerintah, lanjut Andry, harus bergerak cepat menangkap sinyal bahaya yang terjadi pada sektor industri tekstil dan pakaian jadi. 

"Pemerintah harus menangkap sinyal bahaya ini dan mempersiapkan langkah-langkah yang harus dilakukan. Kami berharap presiden juga ikut melihat terkait dengan industri tekstil ini karena ini industri yang memberikan kontribusi tenaga kerja yang cukup besar," kata Andry.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement