Jumat 02 Aug 2024 20:06 WIB

Waspada, Indef Ingatkan Tanda-Tanda Bahaya Deflasi

Perkembangan deflasi yang terjadi beberapa waktu terakhir harus dicermati.

Rep: Muhammad Nursyamsi/ Red: Ahmad Fikri Noor
Pedagang beras melayani pembeli di salah satu kios di kawasan Pasar Rumput, Jakarta, Senin (3/6/2024).
Foto: Republika/Prayogi
Pedagang beras melayani pembeli di salah satu kios di kawasan Pasar Rumput, Jakarta, Senin (3/6/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Senior INDEF Didik J Rachbini mengatakan perkembangan deflasi yang terjadi beberapa waktu terakhir harus dicermati dengan baik. Didik mengatakan deflasi yang terjadi ini merupakan penurunan tingkat harga umum barang dan jasa, yang seolah-olah menguntungkan masyarakat luas.

"Harga tidak naik lalu kita secara individu yang mapan bersorak menikmatinya. Badan Pusat Statistik mencatat terjadi penurunan Indeks Harga Konsumen (IHK) dari 106,28 pada Juni 2024 menjadi 106,09 pada Juli 2024," ujar Didik dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (2/8/2024).

Baca Juga

Dalam beberapa waktu terakhir ini, lanjut Didik, ekonomi Indonesia Indonesia mengalami deflasi 0,18 persen pada Juli tahun ini dibanding dengan IHK bulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Didik menyampaikan selama tiga bulan terakhir ini terjadi deflasi beruntun.

"Namun, deflasi ini secara umum merupakan gejala konsumen secara luas tidak bisa mengkonsumsi barang dengan wajar atgau setidaknya menunda konsumsinya," sambung Didik.

Didik mengatakan deflasi terlihat menguntungkan bagi konsumen karena harga yang lebih rendah, tetapi ini merupakan fenomena makro ekonomi dimana ekonomi masyarakat sedang tidak berdaya untuk membeli barang-barang kebutuhannya. Menurut Didik, deflasi yang terjadi sekarang dapat menimbulkan dampak negatif yang luas terhadap pada perekonomian jika kebijakan makro dan kebijakan sektor riil apa adanya seperti sekarang.

"Yang sudah jelas ada di hadapan mata adalah penurunan Pengeluaran konsumsi. Konsumen menunda pembelian untuk mengantisipasi harga yang lebih rendah lagi di masa depan karena keterbatasan pendapaatannya dan banyak yang menganggur," lanjut Didik.

Dalam aspek kesempatan kerja peluang pekerjaan, sambung Didik, masalah pengangguran lebih berat, yang tidak bisa diukur secara baik karena fenomena sektor informal sangat banyak. Didik menyampaikan bantuan sosial yang sangat besar sebagai jual beli suara politik tidak membanatui sama sekali memperbaiki keadaan, bahkan mendorong utang semakin besar sebagai beban ekonomi politik yang diwariskan.

Selain menerima keadaan deflasi beruntun, ucap Didik, konsumsi lemah karena pendapatan turun dan PHK pengangguran yang semakin massal, pemerintah baru mendapat warisan utang yang besar selama 10 tahun terakhir ini. Didik mengatakan gabungan masalah industri yang berat, pengangguran, dan deflasi karena konsumsi menurun, maka dunia usaha yang dirasakan Kadin semakin berat.

"Saya sebagai anggota Dewan Pertimbangan Kadin (dan Mantan Kepala LP3E Kadin Pusat), melihat tidak altrernatif banyak kecuali biaya produksi harus dipangkas, yang pada gilirannya memangkas pekerja menjadi lebih sedikit lagi," ucap Didik.

Didik mengatakan dunia usaha mengalami penurunan pendapatan akibat konsumsi masyarakat turun sehingga dengan terpaksa memberhentikan pekerja atau mengurangi jam kerja. Dalam jangka lebih panjang bisa terjadi stagnasi atau penurunan upah karena pada keadaan seperti ini pengusaha juga dapat memotong upah atau menghentikan kenaikan upah.

"Secara makro ini selanjutnya mengurangi permintaan secara keseluruhan dalam perekonomian," sambung Didik.

Didik menyampaikan pemerintahan Jokowi juga akan mewariskan dampak makroekonomi kepada pemerintahan baru. Ia mengingatkan waspada kepala ular resesi bisa menghadang ekonomi Indonesia karena deflasi yang terus-menerus dapat menyebabkan spiral deflasi, yang memburuk.

Penurunan harga menyebabkan berkurangnya aktivitas ekonomi, yang pada gilirannya menyebabkan harga semakin jatuh. Hal ini dapat mengakibatkan resesi yang berkepanjangan.

"Investasi yang dilakukan dunia usaha tidak akan lebih tinggi, bahkan bisa lebih rendah lagi," lanjut Didik.

Didik menyebut dunia usaha akan melakukan koreksi perencanaannya dengan menunda atau membatalkan rencana investasi karena ketidakpastian mengenai pendapatan dan keuntungan di masa depan. Didik menyampaikan peningkatan ketika suku bunga nominal sudah rendah, deflasi meningkatkan suku bunga riil, membuat pinjaman menjadi lebih mahal dan menghambat investasi dan pengeluaran.

"Lupakan mimpi ekonomi tumbuh 8 persen jika masalah konsumsi rendah ini tidak bisa diatasi dengan pengembangan ekonomi di sektor riil, terutama sektor industri," kata Didik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement