REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengunduran diri Presiden AS Joe Biden dalam kontestasi pemilihan presiden berpotensi memberikan pengaruh pada pergerakan rupiah. Kendati demikian, Bank Indonesia (BI) menilai, sentimen itu tak terlalu berpengaruh signifikan apabila dibandingkan dengan kebijakan bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed).
Kepala Grup Departemen Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas Bank Indonesia Ramdan Denny Prakoso menjelaskan, saat ini memang peta politik di AS mengarah pada potensi kemenangan kandidat presiden dari Partai Republik, Donald Trump.
"Banyak yang memperkirakan Trump akan menang dengan mudah tapi kita tidak tahu bagaimana dengan pengunduran Joe Biden. Tapi sebagian meyakini terkait dengan data pasar keuangan akan lebih banyak ditentukan oleh kebijakan The Fed dibanding terpilihnya Trump," ungkap Denny di Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, Senin (22/7/2024).
Denny mengatakan, ketika Trump memenangkan kontestasi politik pada Pilpres 2016, banyak pihak yang terkejut. Hal itu lantaran lawan politiknya, Hillary Clinton diunggulkan dalam berbagai proyeksi.
Peristiwa itu pula yang memicu kenaikan indeks dolar AS dan membuat mata uang negara lain melemah. Lantas, bagaimana jika Trump menang kembali kali ini?
"Sebagian orang tidak yakin. Kalau kemarin itu (pada 2016) di titik terakhir Trump (diprediksi) kalah tapi tiba-tiba menang sehingga pasar keuangan kaget. Kondisi itu sebagian meyakini tidak akan terulang," ujar Trump.
Biden sendiri telah mengumumkan pengunduran dirinya dalam pilpres dan mendukung Kamala Harris untuk menggantikannya sebagai calon presiden dari Partai Demokrat.
Potensi cerah untuk rupiah
Sementara itu, Denny menilai, rupiah justru akan memiliki prospek positif hingga akhir tahun ini. Di tengah kenaikan indeks dolar hingga pertengahan tahun ini, rupiah masih menunjukkan daya tahan. Hal itu dinilai berkat kekuatan fundamental rupiah dan perekonomian Indonesia.
Rupiah memang masih dalam tren pelemahan sepanjang tahun ini. Hingga 12 Juli 2024, rupiah tercatat melemah 4,81 persen (ytd). Angka itu masih lebih baik dibanding yen Jepang yang melemah 12,89 persen (ytd), baht Thailand melemah 5,36 persen (ytd), won Korea melemah 6,39 persen (ytd), dan dolar Taiwan melemah 5,99 persen (ytd).
Denny mengatakan, pasar meyakini bahwa suku bunga Fed saat ini yang berada di level 5,25 persen sudah menjadi puncak. Berdasarkan perkiraan BI saat ini, ada peluang The Fed memangkas suku bunganya dua kali pada tahun ini yakni pada September 2024 dan kuartal terakhir 2024. Konsekuensinya, bank sentral negara maju lainnya juga berpotensi menurunkan suku bunga.
Hal itu kemudian akan mendukung arus modal asing masuk ke Indonesia. "Dengan bacaan seperti ini, saya melihat potensi rupiah untuk menguat sangat terbuka," ungkap Denny.