Sabtu 13 Jul 2024 00:09 WIB

Pengamat Sebut Indikator Persentase Rasio Utang terhadap PDB Bisa Menyesatkan, Kok Bisa?

Perlu adanya pemahaman yang lebih realistis terkait utang sesuai perkembangan ekonomi

Rep: Eva Rianti/ Red: Friska Yolandha
Utang (ilustrasi). Pengamat menilai perlu adanya pemahaman terkait rasio utang yang lebih realistis berdasarkan perkembangan ekonomi yang telah terjadi.
Foto: republika
Utang (ilustrasi). Pengamat menilai perlu adanya pemahaman terkait rasio utang yang lebih realistis berdasarkan perkembangan ekonomi yang telah terjadi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Ekonomi Yusuf Wibisono menyampaikan pandangannya mengenai isu akan ada kenaikan rasio utang negara hingga 50 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada masa pemerintahan Prabowo-Gibran. Meski angka tersebut masih di bawah ambang batas 60 persen dari PDB, Yusuf menganggap perlu adanya pemahaman yang lebih realistis berdasarkan perkembangan ekonomi yang telah terjadi. 

Yusuf menjelaskan, pada dasarnya utang pemerintah dan defisit anggaran adalah counter-cycle policy, yaitu kebijakan yang ditujukan melawan pelemahan perekonomian dengan cara mendorong belanja pemerintah yang memberikan multiplier effect terbesar pada perekonomian, seperti belanja modal dan transfer pendapatan ke kelompok miskin.

Baca Juga

Dengan kata lain, kebijakan defisit anggaran dan pembuatan utang adalah upaya untuk meningkatkan ruang gerak fiskal pemerintah agar dapat memprioritaskan dan menambah alokasi dana ke pos belanja penting yang diinginkan.

“Namun, di Indonesia terjadi anomali dimana belanja ‘terikat’ atau non-discretionary spending secara konsisten terus mendominasi belanja negara, terlepas dari pembuatan utang yang terus dilakukan dan dalam jumlah yang semakin besar,” kata Yusuf kepada Republika, Jumat (12/7/2024).

Ia menuturkan, kebijakan utang dan defisit anggaran tidak berimplikasi pada meningkatnya ruang gerak fiskal, sehingga pengeluaran diskresi atau discretionary spending seperti belanja infrastruktur dan belanja sosial tidak pernah meningkat dan dominan.

“Belanja publik kita sangat dan terus didominasi oleh belanja terikat, terutama belanja pegawai, belanja barang, dan pembayaran bunga utang pemerintah,” ujarnya.

Menurut catatannya, belanja pemerintah pusat yang terbesar adalah belanja pegawai di sepanjang era Presiden RI Joko Widodo medio 2015—2024 diperkirakan mencapai Rp3.707 triliun, atau sekitar 21,3 persen dari total belanja pemerintah pusat.

Belanja publik terbesar berikutnya di era Jokowi adalah belanja barang sebesar Rp3.674 triliun, atau 21,1 persen dan pembayaran utang sebesar Rp3.067 triliun atau 17,7 persen dari total belanja pemerintah pusat.

“Secara keseluruhan, belanja terikat di sepanjang era Presiden Jokowi mencapai Rp10.448 triliun, atau sekitar 60 persen dari total belanja pemerintah pusat. Dengan kata lain, hanya tersisa sekitar 40 persen belanja pemerintah pusat untuk belanja infrastruktur dan sosial,” tuturnya.

Yusuf mengatakan, ruang fiskal tersisa untuk discretionary spending secara menarik bukan untuk pembangunan infrastruktur, melainkan untuk subsidi energi dan kompensasi energi atau belanja-belanja lain.

Pada era Presiden Jokowi, alokasi untuk subsidi energi dan belanja lain-lain diperkirakan mencapai Rp2.774 triliun, atau sekitar 16 persen dari total belanja pemerintah pusat. Adapun belanja untuk pembangunan infrastruktur, yaitu belanja modal hanya mendapat alokasi sekitar Rp2.130 triliun atau 12,3 persen dari total belanja pemerintah pusat. Sedangkan alokasi belanja untuk rakyat, yaitu belanja sosial Rp1.235 triliun (7,1 persen) dan subsidi non energi Rp784 triliun (4,5 persen).

“Alokasi belanja modal, subsidi, dan bantuan sosial selalu merupakan residual belaka, bahkan dengan proporsi yang terus menurun. Dengan demikian, kebijakan utang defisit anggaran di Indonesia tidak hanya tidak tepat prioritas dimana kepentingan birokrasi dan investor lebih diutamakan dari kepentingan rakyat, namun juga tidak tepat sasaran dimana belanja yang penting untuk perekonomian justru semakin menurun alokasi anggarannya,” paparnya.

Lalu, rasio urang 50 persen apakah betul-betul aman....

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement