REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Isu rasio utang negara pada masa pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka bakal meningkat mencapai angka 50 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) kembali mencuat. Pengamat kembali mewanti-wanti bahwa peningkatan yang cukup tinggi, dibandingkan saat ini di angka 39 persen dari PDB, merupakan hal yang patut diingatkan.
“Itu menjadi warning sekali,” kata Peneliti yang juga Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eisha Maghfiruha Rachbini saat dihubunggi Republika.co.id, Jumat (12/7/2024).
Meskipun angka ambang batas rasio utang negara berdasarkan amanat Undang-Undang adalah 60 persen dari PDB, Eisha lebih menilik pada konteks kepastian produktivitas penggunaan dana, di tengah kondisi menurunnya penerimaan atau pendapatan, serta sentimen ketidakpastian ekonomi yang terjadi dewasa ini.
“Ketika ambil utang, harus benar-benar tujuannya untuk pertumbuhan ekonomi, untuk infrastruktur, dan lain-lain, tapi kan ke depan dengan situasi geopolitik yang masih mengkhawatirkan, perekonomian juga masih mengkhawatirkan, juga dari sisi penerimaan (menurun), ini menjadi warning kita,” jelasnya.
Eisha berpendapat, munculnya isu rencana peningkatan rasio utang negara tersebut memang tidak terlepas dari berbagai program ambisius era Prabowo-Gibran. Di antaranya program makan bergizi gratis yang ditaksir bakal memakan anggaran hingga sekitar Rp 466 triliun. Juga program lanjutan dari Presiden Joko Widodo yakni megaproyek Ibu Kota Nusantara (IKN) yang juga membutuhkan anggaran Rp 466 triliun. Belum lagi proyek-proyek pembangunan infrastruktur lainnya yang menelan biaya besar.
Seiring dengan kebutuhan dana yang banyak, tak ayal muncul ide untuk meningkatkan rasio utang negara. Namun, Eisha mengingatkan tentang kondisi fiskal yang masih terbatas. Hal itu seiring dengan menurunnya penerimaan negara.
Per semester 1-2024 saja tercatat realisasi APBN mengalami defisit hingga Rp77,3 triliun. Defisit pada semester pertama tahun ini mencakup 0,34 persen dari PDB. Padahal pada semester 1-2023, kondisinya masih surplus Rp 152,3 triliun.
“Kalau kita lihat fiskal, utang itu kan memang ambang batas 60 persen, tapi seharusnya tidak memaksimalkan ke sana dengan kita yang saat ini di 38—39 persen, ruang fiskalnya jadi lebih sedikit dan sempit, kalau kita bicara tentang keberlanjutan fiskal ke depan, dalam arti kalau kita ambil utang saat ini mampu enggak dibayar di masa yang akan datang,” terangnya.
Sebelumnya diberitakan, desas desus Presiden terpilih Prabowo Subianto akan menaikan rasio utang dari 39 persen menjadi 50 persen dari produk domestik bruto (PDB) kembali mencuat. Hal tersebut disampaikan adik kandung Prabowo Hashim Djojohadikusumo.
Rencana tersebut sudah....