REPUBLIKA.CO.ID, BATAM -- Pengamat ekonomi Piter Abdullah berpendapat mengenai solusi dari terjadinya defisit APBN dan merosotnya penerimaan negara hingga Mei 2024. Alih-alih menggenjot penerimaan dengan pajak, menurutnya justru pemerintah perlu memberikan insentif agar ekonomi kembali menggeliat.
"Menaikkan pajak di tengah kondisi perekonomian yang sedang melambat seperti ini bisa jadi boomerang, pemerintah nggak bisa selalu menggenjot itu. Justru pemerintah harus memberikan insentif agar perekonomian kembali bergerak," kata Piter saat dihubungi Republika, Jumat (28/6/2024).
Menurut analisisnya, dengan memberikan insentif kepada para pelaku usaha, penerimaan negara akan bisa naik kembali karena perekonomian kembali menggeliat. "Pemerintah seringkali di dalam meningkatkan penerimaan adalah dengan melonggarkan atau memberikan insentif agar perekonomian bisa tumbuh kembali. Nah ketika perekonomian tumbuh maka penerimaan pajak mesti akan meningkat kembali," jelasnya.
Sebelumnya diberitakan, Pemerintah mencatatkan realisasi APBN 2024 masuk di zona defisit. Hingga akhir Mei 2024 pendapatan negara dari pajak, bea cukai, PNBP serta hibah turun hingga 7,1 persen yakni Rp 1.123,5 triliun. Pendapatan ini telah mencapai 40,1 persen dari target APBN tahun ini.
Sri Mulyani mengatakan, turunnya penerimaan itu memang masih dipicu oleh merosotnya berbagai harga-harga komoditas. Menyebabkan setoran penerimaan perpajakan, dan penerimaan negara bukan pajak atau PNBP ikut merosot.
"Seperti diingat tahun 2023 dan 2022 di mana kenaikan harga terutama pada 2022 dari komoditas itu luar biasa sehingga membukukan penerimaan pajak PNBP tinggi. Ini sesuatu yang perlu kita monitor dan waspada," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rilis APBN Kita yang diikuti secara daring Kamis (27/6/2024).
Berdasarkan data Kemenkeu, hingga Mei 2024 belanja negara telah mencapai Rp 1145,3 triliun. Sehingga, pemerintah telah belanja dari seluruh total belanja yaitu 34,4 persen dari total pagu yang ada di APBN. Angka ini pun 14 persen lebih tinggi (yoy).
"Posisi APBN hingga akhir Mei adalah keseimbangan primer masih membukukan positif atau surplus Rp 184,2 triliun, namun total anggaran kita membukukan defisit Rp 21,8 triliun atau 0,10 persen dari produk domestik bruto karena defisit biasanya diukur dari sisi persentase terhadap PDB," ujarnya.
Adapun rincian dari setoran penerimaan negara itu yang anjlok terdiri dari untuk penerimaan pajak dari 8,4 persen di Mei 2023 sebesar Rp 830,5 triliun menjadi Rp 760,4 triliun di tahun ini. Kemudian, target pajak tahun ini yang dipatok sebesar Rp 1.988,9 triliun baru terealisasi 36,2 persen.
Dari penerimaan kepabeanan dan cukai pun baru Rp 109,1 triliun. Angka ini turun 7,8 perse dibanding Mei 2023 yakni sebesar Rp 118,4 triliun. Adapun target tahun in adalah sebesar Rp 321 triliun dan baru terealisasi 34 persen
Sementara untuk penerimaan negara bukan pajak atau PNBP baru terealisasi Rp 251,4 triliun atau turun 3,3 persen dari realisasi Mei 2023 yakni Rp 260 triliun. Adapun target tahun ini yang sebesar Rp 492 triliun sudah terealisasi sebesar 51,1 persen.
Komentar
Gunakan Google Gunakan Facebook