REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) Teuku Riefky mengatakan Bank Indonesia perlu mempertahankan suku bunga acuannya (BI rate) di 6,25 persen. Dengan mempertahankan BI rate tersebut, maka perbedaan suku bunga dengan bank sentral Amerika Serikat, The Fed, saat ini masih terkendali.
“Kami melihat bahwa BI perlu mempertahankan suku bunga kebijakannya di 6,25 persen,” ujar Teuku Riefky dalam Seri Analisis Makroekonomi LPEM FEB UI Rapat Dewan Gubernur BI Juni 2024 yang diterima di Jakarta, Kamis (20/6/2024).
Hal tersebut pun diharapkan dapat mendukung intervensi moneter melalui strategi triple intervention, yakni intervensi aktif di pasar spot valuta asing, pembelian Surat Berharga Negara (SBN), dan intervensi di pasar domestic non-delivery forward (DNDF) untuk menstabilkan nilai tukar rupiah.
Menurut dia, nilai tukar rupiah hingga kini masih belum stabil, bahkan terdepresiasi sebesar 2,79 persen dari Rp 15.950 per dolar AS pada 17 Mei menjadi Rp 16.395 per dolar AS pada 14 Juni.
“Angka ini menandai level terendah sejak April 2020, saat awal pandemi COVID-19. Pelemahan rupiah terutama disebabkan oleh penguatan dolar AS, yang telah berdampak pada mata uang global,” kata Riefky.
Ia mencatat bahwa tren tersebut tidak hanya terjadi terhadap rupiah, tapi juga mata uang beberapa negara Asia lainnya, seperti baht Thailand, ringgit Malaysia, dan won Korea Selatan.
Ia pun menilai bahwa rupiah masih menunjukkan kinerja yang moderat dibandingkan dengan mata uang negara lain.
Riefky mengatakan bahwa kinerja rupiah yang tetap moderat di tengah tekanan dolar AS tersebut didukung oleh tingkat inflasi tahunan yang terjaga serta kenaikan cadangan devisa.
Ia menyampaikan bahwa setelah perayaan Idul Fitri 1445 Hijriah, secara umum terjadi penurunan tingkat inflasi tahunan yakni dari 3 persen pada April 2024 menjadi 2,84 persen pada Mei 2024.
Terkait cadangan devisa, ia menuturkan bahwa nilai komponen tersebut naik dari 136,2 miliar dolar AS pada April 2024 menjadi 138,97 miliar dolar AS pada Mei 2024.
Kini Indonesia pun memiliki cadangan devisa setara dengan 6,3 bulan impor atau 6,1 bulan impor ditambah dengan pembayaran utang luar negeri pemerintah.
“Peningkatan cadangan devisa ini didukung oleh penerbitan obligasi global, arus masuk ke pasar obligasi domestik, dan investasi di SRBI,” ucap Riefky.