Rabu 19 Jun 2024 17:27 WIB

Ekonom: Utang Indonesia Masih Terkendali

Utang dibolehkan asalkan tidak melampaui 60 persen PDB.

Rep: Eva Rianti/ Red: Friska Yolandha
Utang (ilustrasi). Pengamat Ekonomi Ryan Kiryanto berpendapat bahwa utang luar negeri (ULN) Indonesia sejauh ini masih terbilang aman.
Foto: republika
Utang (ilustrasi). Pengamat Ekonomi Ryan Kiryanto berpendapat bahwa utang luar negeri (ULN) Indonesia sejauh ini masih terbilang aman.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Ekonomi Ryan Kiryanto berpendapat bahwa utang luar negeri (ULN) Indonesia sejauh ini masih terbilang aman. Sebab rasio ULN Indonesia masih di bawah ambang batas atau threshold sebesar 60 persen dari total produk domestik bruto (PDB). Hal itu sekaligus menanggapi kabar miring mengenai Presiden terpilih Prabowo Subianto yang diisukan menaikkan rasio ULN hingga 50 persen dari PDB. 

“Posisi Indonesia sekarang ini dalam persentase total utang luar negeri terhadap PDB sekitar 39 persen. Artinya sejauh ini posisi ULN Indonesia relatif aman atau terkendali,” kata Ryan saat dihubungi Republika, Rabu (19/6/2024).

Baca Juga

Diketahui, Bank Indonesia (BI) mencatatkan per April 2024, ULN Indonesia mencapai 398,3 miliar dolar AS. Angka tersebut mengalami penurunan dibandingkan angka ULN pada Maret 2024 sebesar 404,8 miliar AS. Sementara itu, Ryan menyebut total PDB Indonesia hingga saat ini sebesar Rp 22.000 triliun. 

Indikator lainnya atas pendapat bahwa kondisi ULN Indonesia aman adalah terletak pada faktor pemanfaatan atau penggunaan utang. Ryan menjelaskan, selama utang digunakan untuk kegiatan yang bersifat produktif, itu tidak masalah.

Data BI menunjukkan, pemanfaatan ULN terus diarahkan untuk mendukung pembiayaan sektor prioritas. Diantaranya mencakup sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial (20,9 persen dari total ULN pemerintah), administrasi pemerintah, pertahanan, dan jaminan sosial wajib (18,6 persen), jasa pendidikan (16,8 persen), konstruksi (13,6 persen), serta jasa keuangan dan asuransi (9,6 persen).

“Misalnya juga untuk membangun infrastruktur dasar, seperti menbangun Telkom, prasarana fisik, jalan tol, pembangunan bendungan, pembangunan jembatan, itu kan produktif karena membuat arus barang dan orang menjadi lancar,” tutur Ryan.

Faktor lainnya yang menjadikan ULN Indonesia berada di posisi aman atau terkendali adalah mengenai kepercayaan investor yang terjaga. Menurut pandangan Ryan, selama ini Indonesia mampu menerapkan disiplin fiskal yang kredibel, sehingga lembaga-lembaga asing atau kreditur asing percaya diri untuk memberikan utang kepada Indonesia. Terlebih Indonesia berperingkat triple B dan masuk dalam investment grade.

“Sejak krisis moneter 1997 atau 1998 sampai sekarang ini Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang disiplin memenuhi kewajibannya, dibayar utang pokok dan bunganya,” tuturnya.

Ryan menekankan bahwa besaran atau kenaikan utang bukan merupakan hal yang meresahkan asal bisa dikelola dengan sebaik-baiknya berdasarkan kebutuhan di Indonesia.

“Intinya manajemen utang. Utangnya enggak boleh lebih besar dari 60 persen dari total PDB. Lalu sebagian penggunaan utang betul-betul produktif. Selain itu sifatnya juga long term,” tegasnya.

“Kemudian yang penting juga, dengan utang kreditur asing itu tidak mengganggu kedaulatan ekonomi Indonesia artinya Indonesia tidak bisa didikte oleh pemberi pinjaman. Itu penting untuk diketahui, meluruskan pandangan-pandangan di luar yang simpang siur,” lanjutnya.

Lantas Ryan pun menyinggung mengenai adanya pemberitaan bahwa Presiden terpilih Prabowo Subianto akan menaikkan rasio utang utang luar negeri terhadap PDB hingga mendekati angka 50 persen. Namun, hal itu dibantah oleh Anggota Tim Keuangan Tim Gugus Sinkronisasi Presiden dan Wakil Presiden terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka Thomas Djiwandono.

“Jadi terlepas dari soal (berita Prabowo menaikkan rasio ULN) 50 persen terhadap PDB, tapi yang jelas utang itu enggak papa sepanjang batasnya enggak boleh melampaui 60 persen dari PDB serta digunakan secara produktif,” tegasnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement