Kamis 13 Jun 2024 22:01 WIB

Uni Eropa Kenakan Bea Tambahan pada Mobil Listrik China, Ini Balasan Beijing

China menyebut tambahan tarif bea masuk Uni Eropa bentuk proteksionisme

Pengunjung melihat mobil listrik Xiaomi SU7 yang dipajang di Beijing.  Komisi Eropa mengumumkan akan mengenakan bea tambahan hingga 38,1 persen pada impor mobil listrik dari Tiongkok
Foto: AP Photo/Ng Han Guan
Pengunjung melihat mobil listrik Xiaomi SU7 yang dipajang di Beijing. Komisi Eropa mengumumkan akan mengenakan bea tambahan hingga 38,1 persen pada impor mobil listrik dari Tiongkok

REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS -- Komisi Eropa mengumumkan akan mengenakan bea tambahan hingga 38,1 persen pada impor mobil listrik dari China mulai Juli mendatang. Langkah ini diperkirakan akan memicu pembalasan dari Beijing, yang menyatakan pada hari Rabu bahwa pihaknya akan mengambil tindakan untuk melindungi kepentingannya.

Pengumuman ini datang kurang dari sebulan setelah Washington mengungkapkan rencana untuk melipatgandakan bea masuk kendaraan listrik dari Tiongkok hingga 100 persen. Brussels mengatakan tarif tambahan yang berkisar dari 17,4 persen hingga 38,1 persen ini dimaksudkan untuk melawan subsidi berlebihan yang diberikan oleh pemerintah Tiongkok kepada produsen mobil listriknya. Ini merupakan tambahan dari bea mobil standar sebesar 10 persen.

Menurut perhitungan Reuters berdasarkan data perdagangan UE tahun 2023, langkah ini akan menambah miliaran euro dalam biaya bagi produsen mobil. Keputusan ini muncul di tengah melambatnya permintaan dan turunnya harga di pasar domestik mereka.

Sementara itu, produsen mobil Eropa sedang berjuang menghadapi masuknya kendaraan listrik berbiaya lebih rendah dari China. Komisi Eropa memperkirakan pangsa pasar kendaraan listrik Tiongkok di UE telah meningkat dari di bawah 1 persen pada tahun 2019 menjadi 8 persen dan dapat mencapai 15 persen pada tahun 2025, dengan harga yang biasanya 20 persen lebih rendah dibandingkan model buatan UE.

kepala ekonom Eropa di Capital Economics, Andrew Kenningham, menyatakan bahwa keputusan UE ini menandai perubahan besar dalam kebijakan perdagangannya. Meskipun UE sering menggunakan tindakan perdagangan defensif terhadap China, hal ini jarang dilakukan terhadap industri strategis seperti otomotif.

Keputusan ini diambil untuk menghindari pengulangan situasi pada industri panel surya satu dekade lalu, di mana banyak produsen Eropa bangkrut karena tindakan terbatas terhadap impor dari China. UE telah meluncurkan penyelidikan anti-subsidi terhadap kendaraan listrik China pada bulan Oktober lalu.

Pengumuman tarif ini berdampak langsung pada saham beberapa produsen mobil besar Eropa yang memiliki pangsa pasar signifikan di Tiongkok. BMW, misalnya, kemungkinan akan terkena bea tambahan pada kendaraan listrik yang dibuat di Tiongkok dan dijual di Eropa.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Lin Jian, menyebut penyelidikan UE sebagai bentuk proteksionisme dan mengatakan bahwa tarif ini akan merusak kerja sama ekonomi China-UE serta stabilitas produksi dan rantai pasokan global. Beijing, lanjutnya, akan mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk "menjaga dengan tegas" hak dan kepentingan sahnya.

Asosiasi Mobil Penumpang Tiongkok tampaknya tidak terlalu khawatir dengan tarif ini. Cui Dongshu, Sekretaris Jenderal CPCA, mengatakan bahwa tarif sementara UE yang rata-rata sekitar 20 persen tidak akan banyak berpengaruh pada sebagian besar perusahaan Tiongkok. Ia menambahkan bahwa perusahaan seperti Tesla, Geely, dan BYD tetap memiliki potensi besar untuk berkembang di Eropa.

Produsen mobil China juga mulai berinvestasi dalam produksi di Eropa untuk menghindari tarif tersebut. Beijing baru-baru ini mengesahkan undang-undang yang memperkuat kemampuannya untuk membalas tarif yang dikenakan oleh AS atau UE.

Bea masuk sementara UE akan diberlakukan pada tanggal 4 Juli dan penyelidikan akan berlangsung hingga 2 November. Komisi Eropa mengatakan akan menerapkan tambahan 21 persen bagi perusahaan yang bekerja sama dalam penyelidikan dan 38,1 persen bagi yang tidak bekerja sama.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement