REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Staf Khusus Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Arya Mahendra Sinulingga meluruskan disinformasi tentang banyaknya politisi yang duduk di dewan komisaris BUMN. Arya menyebut masih banyak yang salah kaprah mengenai hubungan antara BUMN dan politik.
Arya menjelaskan BUMN sebagai perusahaan milik negara tentu memerlukan dukungan politik dalam upaya meningkatkan kinerja. Arya mengingatkan negara merupakan pemegang saham terbesar di BUMN.
"Maka harus ada persetujuan dari rakyat yang diwakili oleh DPR," ujar Arya di ruang media kantor Kementerian BUMN, Jakarta, Rabu (12/6/2024).
Arya menyampaikan hal ini yang membedakan BUMN dengan perusahaan swasta. Arya mencontohkan berbagai kebijakan maupun keputusan strategis BUMN seperti merger, holding, pembubaran, PMN, penugasan, hingga IPO, memerlukan lampu hijau dari DPR.
"Maka wajar kalau misalnya kita cari dari berbagai latar belakang, dan latar belakang politik tidak menjadi larangan. Lalu, selama kompeten ya tidak ada masalah," ucap Arya.
Arya memastikan setiap politikus yang mendapat tugas di BUMN sudah melepaskan jabatan sebelumnya di DPR maupun di partai politik. Hal ini menjadi komitmen agar tidak terjadi konflik kepentingan.
Arya menyampaikan kehadiran politikus dalam manajemen BUMN merupakan hal yang terjadi pada setiap pemerintahan. Arya menilai ini merupakan hal yang lumrah dalam upaya memperkuat BUMN dari berbagai macam latar belakang individu.
"Tidak boleh kita menafikan unsur politik tidak masuk dalam BUMN. Dari dulu BUMN ada sampai hari ini, pasti ada politiknya. Memang zamannya Pak SBY, Gus Dur, Pak BJ Habibie, Ibu Megawati, tidak ada orang politik? Semua zaman sebelum Pak Jokowi pun ada. Jadi tidak usah dipertentangkan. Jangan lupa, banyak keputusan kebijakan di BUMN itu tergantung pada DPR. Jadi jangan samakan dengan swasta," kata Arya.