Senin 27 May 2024 20:06 WIB

Rencana Pemisahan Ditjen Pajak Dinilai Perlu Dikaji Ulang

Pembentukan lembaga penerimaan negara baru memerlukan sumber daya besar.

Rep: Muhammad Nursyamsi/ Red: Ahmad Fikri Noor
Petugas Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melayani wajib pajak saat melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Palembang Ilir Barat.
Foto: ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
Petugas Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melayani wajib pajak saat melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Palembang Ilir Barat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Rektor Universitas Paramadina Handi Risza mengatakan, rencana pemisahan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dengan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak tidak akan berdampak cepat dalam meningkatkan rasio pajak. Handi menyampaikan pembentukan lembaga penerimaan negara baru memerlukan sumber daya sangat besar, baik dari sisi keuangan maupun personel. 

"Ada gagasan pemerintahan baru memisahkan Kemenkeu dan Ditjen Pajak, membuat satu lembaga penerimaan negara baru," ujar Handi saat diskusi publik Indef bertajuk "Kebangkitan Nasional, Kebangkitan Ekonomi" di Jakarta, Senin (27/5/2024).

Baca Juga

Handi berharap pemerintah dapat memiliki perencanaan dan kajian yang komprehensif dalam pembentukan lembaga penerimaan negara tersebut. Handi tak ingin kegagalan reformasi perpajakan terjadi kembali dalam sistem yang baru. 

"Ditjen pajak sudah berapa kali reformasi sistem perpajakan, tetapi dengan biaya yang sangat besar, ratusan miliar bahkan triliunan rupiah, hasilnya belum bisa diharapkan sebagaimana mestinya," ucap Handi. 

Begitu pula dengan wacana pembentukan lembaga penerimaan negara yang baru. Handi mempertanyakan efektivitas kebijakan tersebut, terutama untuk jangka pendek. 

"Perlu sumber daya sangat besar agar lembaga ini bekerja penuh. Untuk efektif mendorong penerimaan pajak tentu tidak akan terwujud dalam waktu singkat. Ini perlu dipikirkan kembali," sambung Handi.

Handi mengingatkan pemerintah bersikap realistis dalam membuat proyeksi ekonomi. Handi menjelaskan dunia saat ini menghadapi triple horror ekonomi yang meliputi tingginya inflasi, suku bunga, dan perlambatan pertumbuhan ekonomi.

Handi mengatakan Indonesia mengalami stagnasi pertumbuhan ekonomi dalam dua dekade terakhir yang mana rata-rata pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 4,9 persen. 

"Dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tersebut, sulit bagi Indonesia naik kelas menjadi negara berpendapatan tinggi atau mengejar pendapatan per kapita dari negara maju," lanjut Handi. 

Handi mengatakan perekonomian Indonesia masih ditopang sumber tradisional yaitu konsumsi yang dalam beberapa tahun terakhir terbantu dengan adanya windfall dari harga komoditas. Handi memperkirakan harga komoditas mulai kembali normal pada tahun ini. 

"Kita ingat Pak Jokowi (Presiden Joko Widodo) saat awal terpilih pada 2014, Indonesia akan tumbuh meroket di atas tujuh persen, nyatanya sampai akhir masa pemerintahannyan kita hanya bisa tumbuh di atas lima persen. Perlu sikap realistis terhadap kondisi, kalau masih berwacana dan janji akan berat untuk ekonomi ke depan," kata Handi. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement