REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Upaya Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani melaporkan kasus dugaan korupsi di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) ke Kejaksaan Agung dinilai sebuah langkah tepat. Dugaan praktik culas di LPEI yang seolah terus berulang itu dinilai menjadi indikasi mendesaknya reformasi terhadap lembaga tersebut.
“Kami menilai langkah Menteri Keuangan Sri Mulyani menunjukkan keseriusan pemerintah agar proses pembiayaan ekspor benar-benar bisa meningkatkan volume ekspor Indonesia, bukan sekadar praktik 'hengky pengky' antara oknum pejabat LPEI dan pihak ketiga sehingga memicu fraud yang merugikan keuangan negara,” ujar Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Fathan Subchi dalam keterangannya, Rabu (20/3/2024).
Sri Mulyani diketahui mendatangi Kejaksaan Agung untuk melaporkan temuan tim Kemenkeu terkait indikasi adanya fraud dalam kredit yang dikucurkan oleh LPEI, Senin (18/3/2024). Sejumlah debitur diduga melakukan tindak pidana korupsi yang diduga menyebabkan kerugian negara hingga Rp 2,5 triliun. Sehari setelah laporan tersebut, KPK pada Selasa (19/3/2023) mengumumkan telah menaikkan status hukum terkait kasus di LPEI ke tahap penyidikan.
Fathan mendukung upaya bersih-bersih oleh penegak hukum, baik KPK maupun Kejagung, sehingga LPEI kembali kepada khittah-nya. Menurutnya, pembentukan LPEI awalnya untuk menciptakan ekosistem yang baik terhadap kegiatan ekspor produk-produk unggulan dalam negeri. Dengan adanya LPEI, eksportir akan dibantu dari segi pembiayaan, penjaminan, dan asuransi.
“Namun faktanya seringkali proses penyaluran pembiayaan ini dilakukan secara serampangan bahkan minim pengawasan saat kredit telah dikucurkan. Maka saat ini kami menilai LPEI ini direformasi agar bisa kembali ke tujuan awal bisa mendorong iklim ekspor yang baik bagi produk unggulan Indonesia baik dari sektor UMKM maupun korporasi,” ujar Fathan.
Politikus PKB ini mengungkapkan, dugaan korupsi di LPEI dengan berbagai modus seolah kaset rusak yang terus berulang. Dia menyebut, Kejagung pada 2022 pernah menetapkan tersangka dalam perkara dugaan korupsi pembiayaan ekspor nasional oleh LPEI selama periode 2013-2019. Saat itu kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 2,6 triliun yang berasal dari kredit macet ke delapan grup usaha yang terdiri dari 27 perusahaan.
“BPK juga pernah melakukan pemeriksaan investigatif terkait kasus dugaan korupsi LPEI dan menemukan kerugian negara hingga puluhan miliar,” katanya.
Di antara modus yang paling sering terjadi, lanjut Fathan, adalah LPEI tidak menerapkan prinsip tata kelola yang baik saat mengucurkan kredit kepada calon debitur. LPEI seolah gampangan dalam menyalurkan kredit kepada pihak ketiga. Akibatnya terjadi kredit macet yang merugikan LPEI dan keuangan negara.
“Saat ditelusuri lebih dalam ternyata ada 'hengky pengky' antara oknum LPEI dengan pengusaha atau eksportir sehingga penyaluran kredit tidak memenuhi unsur prudent,” kata Fathan. 'Hengky Pengky' merupakan istilah yang merujuk pada perilaku persekongkolan jahat satu pihak dengan pihak lain.