REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Usulan Indonesia bersama negara anggota G33 dalam mendorong adanya kebijakan public stockholding guna menjaga ketahanan pangan masih belum mencapai konsensus dalam Konferensi Tingkat Menteri Ke-13 (KTM) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) karena dinilai akan mengganggu perdagangan global. Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan (Dirjen PPI Kemendag) Djatmiko Bris Witjaksono mengatakan tidak adanya konsensus ini karena beberapa negara anggota WTO menganggap bahwa hal ini hanya akan mengganggu perdagangan global.
"Inilah yang kita perjuangkan, karena ada pandangan-pandangan dari negara lain yang lebih pada kekhawatiran bahwa akan mendistorsi perdagangan," ujar Djatmiko dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa (5/3/2024).
Djatmiko menjelaskan, public stockholding merupakan kebijakan yang bertujuan untuk mengisi stok ketahanan pangan dari suatu negara. Menurutnya, strategi ini sudah lama dipraktikkan oleh negara-negara maju.
Lebih lanjut, usulan public stockholding untuk ketahanan pangan guna memastikan tidak adanya kebocoran sehingga merusak harga pasar.
Ia pun memberikan contoh kepada forum di WTO, bahwa Indonesia memiliki lembaga untuk mengatur cadangan pangan dan menjaga stabilitas harga pangan.
"Kita mengusung ketahanan pangan, itu bisa memastikan bahwa tidak ada celah untuk terjadinya kebocoran sehingga terjadi distorsi. Misalnya Bulog, men-stok cadangan beras kita, kan tidak ada (kebocoran), saya bilang kita cari cadangan saja sulitnya setengah mati," kata Djatmiko.
Djatmiko menyampaikan Indonesia akan terus memperjuangkan public stockholding ke KTM-14 WTO pada 2026. Sebab, Indonesia ingin kebijakan ini menjadi permanen di WTO.
"Kita ingin dipermanenkan. Tapi balik lagi, negara-negara lainnya perspektifnya beda," ucapnya.