Senin 19 Feb 2024 17:28 WIB

Resesi Jepang dan Inggris, Bisa Goyang Pasar Modal Indonesia?

Indonesia dinilai harus melakukan pendalaman pasar.

Rep: Rahayu Subekti/ Red: Ahmad Fikri Noor
Pekerja berada di dekat layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
Foto: Republika/Prayogi
Pekerja berada di dekat layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jepang dan Inggris kini tengah jatuh ke dalam resesi. Akan tetapi, hal tersebut diyakini tidak akan menggoyang aliran investasi masuk ke pasar modal Indonesia.

Direktur PT Bursa Efek Indonesia (BEI), Jeffrey Hendrik, mengatakan berkaitan dengan investor asing maka Indonesia harus melakukan pendalaman pasar termasuk penambahan produk dan jasa.

Baca Juga

"Itu yang sedang kita lakukan untuk membuat kita dari waktu ke waktu semakin kompetitif. Pasar kita semakin dalam sehingga dalam konteks ini investor asing itu lebih memilih Indonesia ketimbang berinvestasi di negara lain," kata Jeffrey saat ditemui di Gedung BEI, Jakarta, Senin (19/2/2024).

Meskipun kedua negara tersebut saat ini tengah mengalami resesi, Jeffrey menegaskan BEI tetap menargetkan rata-rata nilai transaksi harian (RNTH) Rp 12,25 triliun. Hal tersebut tetap diharapkan bisa tercapai pada 2024.

"Untuk mencapai itu tentunya kontribusi dari investor domestik termasuk asing kita harapkan bisa memberikan kontribusi," tutur Jeffrey.

Dia menambahkan, BEI tidak memiliki antisipasi khusus terkait isu resesi tersebut. Meskilun begitu, Jeffrey memastikan bursa tetap memantau perkembangan global dan upaya untuk memanfaatkan kondisi tersebut.

"(Resesi) nggak berpengaruh. Kita lihat sampai saat ini masih net in flow untuk perdagangan saham jadi tidak ada dampak negatif ya," ucap Jeffrey.

Dua perekonomian terbesar di dunia, Jepang dan Inggris mengalami resesi. Pada Kamis (15/2/2024) Tokyo dan London melaporkan Produk Domestik Bruto (PDB) mereka negatif dua kuartal berturut-turut, sesuai definisi apa yang disebut resesi.

Dikutip dari CNN International, Sabtu (17/2/2023) dalam catatannya Kamis lalu Kepala Ekonom UBS Global Wealth Management Paul Donovan mengatakan kontraksi ekonomi Jepang berkaitan dengan menyusutnya populasi. Pada 2022, populasi Negeri Sakura turun 800 ribu, menandai penurunan populasi ke-14 kalinya berturut-turut.

Hal tersebut membatasi kemampuan Jepang untuk tumbuh karena. "Artinya semakin sedikit orang yang memproduksi dan mengkonsumsi barang atau jasa," kata Donovan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement