REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berdasarkan suvei Newsweek, aksi boikot produk dan perusahaan yang pro terhadap Israel seperti McDonald's dan Starbucks didominasi oleh mahasiswi. Survei tersebut dilakukan terhadap 853 mahasiswa sarjana yang saat ini terdaftar dalam program gelar empat tahun atau dua tahun pada Kamis (25/1/2024) dan memiliki margin kesalahan plus atau minus empat poin persentase.
"Dari hasil survei tersebut menemukan bahwa hampir 38 persen mahasiswi memboikot McDonald's karena hubungannya dengan Israel, sementara 43 persen memboikot Starbuck," tulis Newsweek dikutip Selasa (30/1/2024).
Sementara itu, 19 persen mahasiswa laki-laki memboikot McDonald's dan 27 persen memboikot Starbucks. Lima puluh delapan persen mahasiswa non-biner memboikot McDonald's dan 55 persen memboikot Starbucks.
Lebih dari 50 persen mahasiswi mengatakan dukungan perusahaan terhadap Israel akan berdampak pada keputusan mereka untuk membeli produk. Tiga puluh dua persen laki-laki dan hampir 70 persen mahasiswa non-biner mengatakan keputusan mereka untuk mendukung perusahaan dipengaruhi oleh pendirian mereka terhadap konflik.
Hanya 15,6 persen responden yang mengatakan bahwa berpartisipasi dalam boikot ini sangat atau agak sulit untuk dilakukan, sementara 54,5 persen mengatakan bahwa partisipasi tersebut “tidak menantang sama sekali.”
Boikot terhadap McDonald's dimulai setelah waralaba Israel mulai menawarkan makanan gratis kepada tentara Angkatan Pertahanan Israel (IDF). CEO Chris Kempczinski mengakui lokasi McDonald's, khususnya di Timur Tengah, telah mengalami dampak bisnis yang berarti akibat perang.
Seorang juru bicara McDonald's menulis dalam sebuah pernyataan kepada Newsweek bahwa perusahaan tersebut kecewa dengan disinformasi dan laporan yang tidak akurat mengenai posisi mereka terhadap konflik di Timur Tengah. Ia menegaskan bahwa McDonald’s tidak mendanai atau mendukung pemerintah mana pun yang terlibat dalam konflik ini.
"Dan tindakan apa pun dari mitra bisnis lokal penerima lisensi kami dilakukan secara independen tanpa izin atau persetujuan McDonald’s,” tulis pernyataan tersebut.
Tak hanya McDonald's, Starbucks juga menghadapi boikot setelah perusahaan tersebut menggugat serikat pekerjanya karena membagikan postingan yang mendukung warga Palestina. Seorang juru bicara Starbucks menolak berkomentar, merujuk pada pernyataan sebelumnya di mana CEO Laxman Narasimhan membahas boikot tersebut.
"Banyak toko kami yang mengalami insiden vandalisme. Kami melihat para pengunjuk rasa dipengaruhi oleh representasi keliru di media sosial tentang apa yang kami perjuangkan. Kami telah bekerja sama dengan pihak berwenang setempat untuk memastikan mitra dan pelanggan kami aman. Tidak ada yang lebih penting. Pendirian kami jelas Kami membela kemanusiaan,” tulisnya.