REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid berharap berbagai upaya mendesak gencatan senjata dan penghentian kejahatan internasional di Gaza, Palestina berhasil dan mewujudkan kedamaian warga di sana. Termasuk juga gerakan Boikot Divestasi Sanksi terhadap Israel (BDS) yang ada di Indonesia.
Hal ini disampaikan Usman usai menghadiri BDS Indonesia Town Hall bertajuk Stop the Genocide Rnd Apartheid di Pusat Perfilman Indonesia Usmar Ismail, Jakarta, Ahad (28/1/2024).
"Harapan kami semua upaya mendesak gencatan senjata dan penghentian kejahatan internasional di sana dapat berhenti, termasuk melalui desakan gerakan BDS," ujar Usman kepada Republika, Ahad.
Gerakan boikot terhadap produk Israel maupun yang terafiliasi dengan negara-negara yang mendukung sikap politik Zionis itu saat menjadi tren usai meledaknya perang Gaza sejak Oktober 2023. Selama kurun waktu itu, boikot diketahui telah berdampak pada produk atau brand asal barat yang menjadi sepi dan menurun pendapatannya, termasuk juga di Indonesia.
"Saya mengamati gerakan BDS sudah ada di Indonesia. Tapi Amnesty belum melakukan penelitian dan data tentang gaung dan dampak BDS di Indonesia. Kami Amnesty lebih fokus ke arah penghentian kekerasan bersenjata atau gancatan senjata dan pertanggungjawaban atas kejahatan kemanusiaan di sana," ujarnya.
Dalam acara tersebut, Usman menyebut, hasil penelitian Amnesty International menyimpulkan hukum, kebijakan, dan praktik Israel terhadap warga Palestina merupakan sistem apartheid. Dalam laporan yang diterbitkan pada tahun 2022, Amnesty merinci bagaimana Israel memperlakukan warga Palestina sebagai kelompok ras yang terpisah dan inferior.
Selain itu, Israel juga menerapkan sistem penindasan dan dominasi terhadap rakyat Palestina di mana pun mereka melakukan kontrol yang efektif. "Amnesty telah meminta Jaksa Pengadilan Kriminal Internasional untuk mempertimbangkan kejahatan apartheid dalam penyelidikannya saat ini di Wilayah Pendudukan Palestina dan menyerukan negara-negara untuk menerapkan yurisdiksi universal untuk membawa para pelaku ke pengadilan," ujarnya.
Demikian pula, dalam laporan yang dikeluarkan Amenesty pada tahun 2017, menyimpulkan undang-undang, kebijakan dan praktik pemerintah Myanmar yang diskriminatif dan eksklusif terhadap Rohingya di Negara Bagian Rakhine merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan akibat apartheid.