Senin 08 Jan 2024 08:34 WIB

Houthi Masih Ganggu Israel, Ini Analisis Dampaknya untuk Ekonomi Indonesia

Ketidakpastian geopolitik biasanya memicu volatilitas sesaat.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Ahmad Fikri Noor
Sebuah perahu berlayar melewati kapal kargo Galaxy Leader yang disita oleh Houthi di lepas pantai pelabuhan Al-Salif di Laut Merah di provinsi Hodeidah, Yaman, Selasa (5/12/2023).
Foto: EPA-EFE/YAHYA ARHAB
Sebuah perahu berlayar melewati kapal kargo Galaxy Leader yang disita oleh Houthi di lepas pantai pelabuhan Al-Salif di Laut Merah di provinsi Hodeidah, Yaman, Selasa (5/12/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Mirae Asset Sekuritas, Rully Arya Wisnubroto, mengatakan Indonesia tetap perlu memiliki kewaspadaan terhadap kondisi global yang masih penuh dengan ketidakpastian akibat geopolitik lantaran sulit untuk diprediksi. Namun, ketidakpastian geopolitik biasanya memicu volatilitas sesaat, seperti yang terjadi mulai Oktober lalu, yaitu konflik Hamas-Israel.

"Saat ini, komoditas mengalami tren yang cenderung melemah, hal ini disebabkan adanya ekspektasi bahwa ekonomi global akan melambat tahun ini dibanding tahun lalu. Sehingga, tren harga komoditas cenderung masih akan flat dan akan menyebabkan ekspor yang masih akan tetap moderat.Dampaknya terhadap ekonomi Indonesia akan juga sangat moderat," ujar Rully kepada Republika, Ahad (7/1/2024) sore.

Baca Juga

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mematok pertumbuhan ekonomi Indonesia di angka 5,2 persen pada tahun 2024. Jokowi mengatakan, stabilitas ekonomi makro akan terus dijaga.

Saat ini kondisi geopolitik sangat sulit untuk diprediksi. Bahkan, menurut analisis Al Jazeera, ancaman Houthi, kelompok dari Yaman, bisa jauh lebih buruk daripada perang Israel dan Hamas saat ini. Houthi Yaman bisa sangat membahayakan pelayaran melalui Bab el-Mandeb antara Laut Merah dan Samudera Hindia. Ini merupakan jalur pelayaran strategis terbesar ketiga dunia untuk pengiriman minyak setelah Selat Hormuz dan Malaka, yang membawa enam juta barel setiap hari, terutama ke Eropa.

Hal ini terbukti, raksasa logistik asal Denmark Maersk sudah akan mengalihkan semua kapal peti kemasnya dari rute Laut Merah di sekitar Tanjung Harapan, Afrika. Dialihkannya rute perjalanan dengan mengelilingi benua Afrika ini  dilakukan untuk menghindari risiko serangan kelompok Houthi di Laut Merah, yang telah menimbulkan kekhawatiran logistik global dalam beberapa hari terakhir.

Maersk juga menyebut pengalihan jalur ini dilakukan untuk waktu yang tidak dapat diprediksi. Maersk juga mengingatkan kepada para pelanggannya untuk bersiap menghadapi gangguan yang sifgnifikan.

Saat ini, pengiriman di seluruh dunia beralih dari Laut Merah sebagai rute terpendek dari Asia ke Eropa melalui Terusan Suez. Pengalihan ini dilakukan setelah kelompok Houthi yang didukung Iran di Yaman meningkatkan serangannya terhadap kapal-kapal di Kawasan Teluk sebagai bentuk dukungannya terhadap kelompok Islam Palestina, Hamas yang sedang melawan penjajahan Israel di Gaza. 

Dengan pengalihan rute ini, sebenarnya waktu tempuh perjalanan kapal akan memakan waktu yang lebih lama yakni sekitar 10 hari. Dengan kondisi seperti itu, bahan bakar yang dibutuhkan pun lebih banyak hingga 1 juta dolar AS atau sekitar Rp 15 miliar untuk setiap perjalanan pulang pergi Asia-Eropa Utara. 

Namun, adanya pengalihan ini juga berdampak positif bagi saham-saham perusahaan pelayaran, yang merupakan saham-saham dengan kinerja terbaik di Eropa sejak awal tahun ini, lantaran investor bertaruh akan adanya kenaikan tarif angkutan sehingga memberikan angin segar pada sektor ini. Biaya yang lebih tinggi ini sebenarnya juga menimbulkan kekhawatiran kembalinya inflasi di zona Euro. 

Goldman Sachs pada Jumat lalu menaikkan perkiraan inflasi di zona Euro pada Mei 2024 menjadi 2,3 persen dari 2,2 persen sebagai akibat dari lonjakan biaya pengiriman. Goldman juga mengatakan, pengalihan rute kargo yang berkepanjangan dari Laut Merah akan berdampak buruk dan menyebabkan inflasi yang lebih besar.

"Analis ekuitas kami memperkirakan bahwa guncangan ini tidak akan seburuk atau berkepanjangan seperti 2020-2022 karena peningkatan pasokan kapal dan tidak ada kemacetan pelabuhan akibat lockdown," kata Goldman Sachs yang membandingkan kondisi saat ini dengan era pandemi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement