REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan untuk keseluruhan 2023, rupiah terapresiasi sebesar 1,11 persen secara tahunan atau year on year (yoy).
"Rupiah berhasil terapresiasi sebesar 1,11 persen (yoy) pada 2023," kata Josua dilansir ANTARA di Jakarta, Rabu (3/1/2024).
Sementara itu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat sebesar 6,16 persen (yoy) di 2023, terutama didorong oleh sentimen risk-on dari pasar global dalam dua bulan terakhir. Sejak awal 2023 sampai dengan 28 Desember 2023, total modal asing masuk bersih di pasar Surat Berharga Negara (SBN) mencapai Rp 80,45 triliun dan di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) sebesar Rp 52,81 triliun. Sementara, modal asing keluar bersih di pasar saham tercatat sebesar Rp 10,74 triliun.
Pada separuh pertama 2023, rupiah terapresiasi hingga tercatat di bawah level Rp 15.000 per dolar AS. Namun, ketika Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed memberikan sinyal higher for longer di awal semester kedua, tren rupiah berbalik pada kuartal III 2023.
Selanjutnya dalam dua bulan terakhir, rupiah menguat terhadap dolar AS karena pelonggaran indikator perekonomian AS dan sinyal dovish dari The Fed. The Fed mengisyaratkan penurunan suku bunga secara signifikan pada 2024. Indeks dolar AS terdepresiasi sebesar 2,11 persen (yoy) pada akhir 2023.
Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan penguatan nilai tukar rupiah berlanjut sejalan dengan konsistensi kebijakan moneter Bank Indonesia dan mulai meredanya ketidakpastian pasar keuangan global. Di samping kebijakan stabilisasi BI, berlanjutnya apresiasi nilai tukar rupiah didorong oleh masuknya aliran portofolio asing, menariknya imbal hasil aset keuangan domestik, serta tetap positifnya prospek ekonomi.
Ke depan, Bank Indonesia tetap mewaspadai sejumlah risiko yang mungkin muncul dan memastikan terjaganya stabilitas nilai tukar rupiah.