REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Harga minyak masih berada di bawah tekanan setelah merosot ke level terendah dalam lebih dari tiga bulan pada sesi sebelumnya. Bahkan, semakin merosot di tengah kekhawatiran berkurangnya permintaan di Amerika Serikat dan China.
Seperti dilansir dari laman Reuters, Kamis (8/11/2023) minyak mentah berjangka Brent turun delapan sen menjadi 81,53 dolar AS per barel pada 0914 GMT, sementara minyak mentah AS kehilangan 20 sen menjadi 77,17 dolar AS. Keduanya turun pada hari Selasa (7/11/2023) ke level terendah sejak 24 Juli.
Analis ING Warren Patterson dan Ewa Manthey mengatakan, pasar khawatir terhadap potensi gangguan pasokan di Timur Tengah dan malah fokus pada pelonggaran keseimbangan.
Produksi minyak mentah di Amerika Serikat tahun ini akan meningkat sedikit lebih rendah dari perkiraan sebelumnya namun permintaan akan turun. Badan Informasi Energi AS (EIA) memperkirakan total konsumsi minyak bumi AS akan turun 300.000 barel per hari (bpd) tahun ini, membalikkan perkiraan sebelumnya yang memperkirakan kenaikan 100 ribu barel per hari.
Stok minyak mentah AS naik hampir 12 juta barel pada pekan lalu. Hal ini menambah kekhawatiran melemahnya permintaan global, importir minyak mentah terbesar di dunia, menunjukkan total ekspor barang dan jasa mengalami kontraksi lebih cepat dari perkiraan.
"Hal ini mencerminkan permasalahan ekonomi domestik dan global, yang berdampak buruk pada neraca minyak," kata Tamas Varga dari pialang minyak PVM.
Namun, impor minyak mentah Tiongkok pada Oktober menunjukkan pertumbuhan yang kuat dan gubernur bank sentralnya bahwa negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia tersebut, diperkirakan mencapai target pertumbuhan produk domestik bruto tahun ini. Beijing telah menetapkan target pertumbuhan sekitar lima persen pada tahun ini.
Untuk meredakan kekhawatiran pasokan, analis dari Goldman Sachs memperkirakan ekspor minyak bersih melalui laut oleh enam negara dari kelompok produsen minyak OPEC akan tetap hanya 0,6 juta barel per hari di bawah level bulan April. OPEC telah mengumumkan pengurangan produksi kumulatif sebesar dua juta barel per hari sejak April 2023.
OPEC memperkirakan ekonomi global akan tumbuh dan mendorong permintaan bahan bakar meskipun ada tantangan ekonomi termasuk tingginya inflasi dan suku bunga.