REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Center of Reform on Economics (Core) menilai aksi boikot produk yang berkaitan dengan Israel memberikan efek terhadap kinerja penjualan perusahaan tersebut. Hal ini menyusul adanya aksi boikot sebagai bentuk solidaritas terhadap Palestina akibat pembantaian yang dilakukan Israel.
“Boikot jika dilakukan dalam skala yang luas dan dilakukan pada momentum yang tepat dan bersamaan tentu bisa memberikan sedikit banyak efek terhadap kinerja penjualan dari produk tersebut,” ujar Ekonom Core Yusuf Rendy ketika dihubungi Republika, Selasa (31/10/2023).
Menurut Rendy sentimen boikot produk merupakan gerakan yang muncul karena rasa ingin membantu mereka yang dirugikan dari produk-produk. Hal ini berkaitan dengan prefensi masing-masing konsumen.
“Banyak pekerjaan rumah yang perlu dilakukan kalau ingin mencapai level sampai pengganti produk yang boikot,” ucapnya. Namun, Rendy menyebut pemboikotan produk tidak bisa dikaitkan dengan produk UMKM. Sebab secara keuntungan kedua produk ini sangat berbeda.
“Perlu dilihat case by case karena kita tidak bisa kemudian menyetarakan produk yang diboikot dengan keuntungan yang bisa didapatkan secara tiba-tiba oleh UKM tertentu,” ucapnya.
Apalagi kalau kita bicara konteks daya saing produk dari produk yang di boikot dan produk UMKM yang dinilai punya potensi untuk menggantikan,” tambahnya.
Sebelumnya, muncul media sosial tagar #BDSMovement yang merupakan gerakan untuk memboikot, melakukan divestasi, dan memberikan sanksi kepada Israel. Adapun upaya ini membuat para pengguna akun menyebut merek-merek yang memiliki hubungan dengan Israel dan menyerukan boikot, salah satu yang ramai menjadi sasaran adalah McDonald's setelah sebuah lokasi di Israel menawarkan makanan gratis militer.
Beberapa di antaranya memboikot Starbucks setelah perusahaan tersebut menggugat serikat pekerjanya pada bulan ini atas akun media sosial serikat pekerja, yang mengunggah dukungan warga Palestina. Dikutip dari VOX, BDS merupakan gerakan protes non-kekerasan global.
Mereka berupaya menggunakan boikot ekonomi dan budaya terhadap Israel, divestasi keuangan dari negara, dan sanksi pemerintah untuk menekan pemerintah Israel agar mematuhi hukum internasional dan mengakhiri kebijakan kontroversialnya terhadap Palestina.