Selasa 31 Oct 2023 20:59 WIB

Ajakan Boikot Produk Israel, Dampak ke Pasar Saham Indonesia Minim

Pasar saham Indonesia masih dipengaruhi oleh faktor suku bunga tinggi.

Rep: Retno Wulandhari/ Red: Ahmad Fikri Noor
Karyawan beraktivitas di dekat layar yang menampilkan indeks harga saham gabungan (IHSG) di kantor PT Bursa Efek Indonesia (BEI) di Jakarta, Kamis (24/8/2023).
Foto: Republika/Thoudy Badai
Karyawan beraktivitas di dekat layar yang menampilkan indeks harga saham gabungan (IHSG) di kantor PT Bursa Efek Indonesia (BEI) di Jakarta, Kamis (24/8/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ajakan untuk memboikot produk-produk yang berkaitan dengan Israel serta Amerika Serikat (AS) terus menggema di media sosial. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk dukungan terhadap Palestina yang saat ini tengah menghadapi serangan bertubi-tubi dari tentara Israel. 

Di sejumlah negara, imbauan boikot tersebut bahkan berdampak pada beberapa merek terkemuka seperti Starbucks, McDonald's hingga Coca-Cola. Harga saham perusahaan-perusahaan tersebut sempat menurun tajam beberapa hari lalu.

Baca Juga

Dalam enam bulan terakhir, saham McDonald's mengalami koreksi sebesar 12,58 persen. Penurunan paling dalam terjadi pada pekan kedua Oktober 2023 bertepatan dengan dimulainya serangan Israel ke Palestina. 

Pergerakan yang sama juga dialami saham Coca-Cola yang terpangkas 12,67 persen. Saham Starbucks bahkan jatuh lebih dalam sebesar 18,69 persen. Lalu bagaimana dampak ajakan boikot ini terhadap emiten di pasar saham domestik?

Analis Kanaka Hita Solvera, Andhika Cipta Labora mengatakan ajakan boikot ini tidak terlalu berdampak pada kinerja emiten-emiten di dalam negeri. "Dampaknya kecil, itu pun tidak secara langsung menimbulkan pengurangan kunjungan di tenant," kata Andhika kepada Republika, Selasa (31/10/2023).

Senada, analis riset Infovesta Kapital Advisory Arjun Ajwani, mengatakan dampak boikot ke pasar saham domestik juga sangat minim. Menurut Arjun, pasar saham Indonesia masih dipengaruhi oleh faktor suku bunga tinggi. 

Bank Indonesia (BI) menaikkan tingkat suku bunga acuan secara tidak terduga menjadi enam persen. "Ini membuat gejolak di pasar sehingga beberapa hari berikutnya saham tertekan," kata Arjun. 

Selain itu, kenaikan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS yang melonjak membuat Surat Berharga Negara (SBN) bertenor 10 tahun turut naik. Hal ini dikarenakan adanya sentimen dari bank sentral AS Federal Reserve yang dinilai terlalu hawkish oleh pasar. 

Menurut Arjun, kenaikan yield obligasi di AS yang sempat menembus level lima persen dan nilai tukar rupiah yang tertekan menuju ke level Rp 16.000 bisa mendorong BI kembali menaikkan suku bunga lagi lebih lanjut. Hal ini diproyeksi akan kembali menekan kinerja pasar saham domestik.

Pada perdagangan Selasa, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat tipis 0,24 persen. IHSG berhasil melompat ke zona hijau di akhir sesi kedua setelah sempat anjlok ke kisaran level 6.600-an.

Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas, Maximilianus Nico Demus, mengatakan pelemahan IHSG salah satunya tertekan faktor kekhawatiran dampak konflik di Timur Tengah. "Investor global tampaknya masih wait and see. Di dalam negeri, pergerakan IHSG juga masih volatil," kata Nico.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement