REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK-- Investor mengamati tanda-tanda bahwa genosida di Palestina oleh Israel meningkat selama akhir pekan. Hal ini berpotensi meningkatkan volatilitas seiring investor menunggu pertemuan Federal Reserve dan data penting AS pada minggu depan.
Seperti dilansir dari laman Reuters, Senin (30/10/2023) Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengatakan pasukan Israel telah melancarkan tahap kedua perang Gaza dengan dalih melakukan operasi darat terhadap militan Hamas.
Investor semakin khawatir terhadap terancamnya keamanan dunia hingga potensi perang dunia dalam beberapa hari terakhir setelah AS mengirimkan lebih banyak aset militer ke Timur Tengah, sementara Israel menyerang sasaran di Gaza dan pendukung Hamas di Lebanon dan Suriah.
“Situasi di Israel… menyebabkan banyak kecemasan,” kata Randy Frederick, direktur pelaksana perdagangan dan derivatif Charles Schwab.
Brent berjangka ditutup naik 2,9 persen pada 90,48 dolar AS per barel di tengah kekhawatiran konflik tersebut dapat mengganggu pasokan minyak mentah. Emas spot, tempat berlindung yang populer bagi investor yang gelisah, melonjak lebih dari dua ribu dolar AS pertama kalinya sejak pertengahan Mei.
Dalam sebuah catatan, analis di Capital Economics mengatakan sejauh ini respons pasar minyak terhadap konflik tersebut ‘tidak bersuara’.
“Meskipun demikian, tanda apapun bahwa negara-negara lain di kawasan ini semakin terlibat dalam konflik akan menyebabkan harga minyak meningkat tajam,” tulis mereka.
Kepala Ekonom di Spartan Capital Securities Peter Cardillo mengatakan jika eskalasi konflik menyebabkan AS meningkatkan pengeluaran terkait perang sehingga meningkatkan defisit, imbal hasil Treasury bisa naik melampaui level tertinggi dalam 16 tahun yang telah dicapai.
Adapun beberapa investor juga memperkirakan konflik yang semakin luas dapat mendorong pembelian obligasi Treasury sebagai safe-haven. Hal ini dapat mengurangi lonjakan imbal hasil, yang pergerakannya berbanding terbalik dengan harga, dan pada gilirannya dapat mengurangi tekanan pada saham dan aset lainnya.
S&P 500 telah jatuh lebih dari 10 persen sejak akhir Juli, ketika mencapai level tertingginya pada 2023, meskipun indeks tersebut naik lebih dari tujuh persen pada tahun ini.
UBS Global Wealth Management dalam pernyataannya sejauh ini, obligasi pemerintah AS belum menjalankan fungsi safe-haven seperti biasanya. Namun, eskalasi konflik kemungkinan akan mengalihkan perhatian dari kekhawatiran kebijakan moneter dan meningkatkan permintaan safe-haven terhadap Treasury.
“Baik emas maupun minyak juga dapat memberikan perlindungan terhadap volatilitas jangka pendek,” tulis mereka.
Indeks Volatilitas telah naik setelah konflik dan naik pada Jumat kemarin, mendekati level tertinggi dalam tujuh bulan. Federal Reserve akan memberikan pernyataan kebijakan moneter terbarunya pada Rabu pekan ini.